“Assalamu’alaikum.” Annisa masuk ke
dalam rumah.
“Wa’alikum salam.” Mama Annisa
menjawab salam tanpa menatap Annisa. Beliau sibuk menghitung uang. “Nis,
katanya temen kamu mau datang ke butik mama, tapi mana? Kok gak datang-da…”
Mama Annisa memotong kalimatnya sendiri saat melihat Annisa memakai jilbab. Dia
segera menghampiri Annisa dan mereba-raba wajahnya.
“Mama jangan lebay gitu ah. Annisa
dari pesantren. Nemeni teman Annisa itu. Dia udah foto pakaian desain
mama. Dan mungkin besok kalau bukan dia
ya temennya bakal datang ke butik mama untuk interview,” terang Annisa kemudian
pamit ke kamarnya.
“Itu tadi Annisa, ma?” tanya mbak
Ria setelah Annisa pergi.
“Iya,” angguk mamanya masih dengan
wajah bengongnya.
“Wah, temen barunya itu membuat
perubahan besar. Salut aku,” puji mbak Ria.
*
* *
Malam menjelang. Annisa telah
tertidur pulas, begitu pun dengan mama dan kakaknya. Saat waktu menunjukkan
pukul 11.15, tiba-tiba handphone Annisa
berbunyi dengan nada yang nyaring. Dengan setengah sadar, Annisa meraih
handphone yang dia letakkan di meja kecil samping tempat tidurnya.
Matanya yang semula setengah membuka,
kini membuka lebar. Dia bangkit menjadi duduk.
“Ada apa, Ros?” tanya Annisa panik.
Wajar jika dia panik. Sahabatnya,
Rosa tidak akan menelponnya larut malam jika tidak terjadi apa-apa.
“Nis.. Hikz…Hikz…” Hanya suara
tangis yang terdengar.
“Tunggu, gue ke sana sekarang,”
panik Annisa, kemudian menutup telpon dan segera menelpon Dicky untuk
mengantarkannya ke rumah Rosa.
Dicky yang selalu siap mengantarkan
Annisa kemanapun dan kapan pun tak pikir panjang untuk segera menjemput Annisa.
Setibanya Annisa dan Dicky di rumah
Rosa, segera mereka masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, rumah itu tidak
terkunci. Di dalam juga sepi. Tapi ada yang berbeda. Tak biasanya rumah itu
berantakan. Banyak barang-barang bertebaran dimana-mana, bahkan sebagian sudah
menjadi kepingan-kepingan yang dapat menyayat kulit seseorang.
Orang tua Rosa baru saja berkelahi.
Dan seperti biasa, setelah berkelahi mereka akan pergi meninggalkan rumah entah
kemana. Annisa hapal itu. Dia yang selalu menemani Rosa saat orang tuanya tiba-tiba
berkelahi. Biasanya orang tua Rosa hanya beradu mulut, tapi sekarang?
“Rosa!” Annisa berteriak sambil
berlari menaiki tangga, menuju kamar Rosa. Sedangkan Dicky, dia lebih memilih
menunggu Rosa dan Annisa di bawah, karena yang dibutuhkan Rosa adalah Annisa.
Ceklek…
Rosa langsung memeluk Annisa saat
Annisa membuka membuka pintu.
“Nis, aku takut. Hikz,” isak Rosa.
Terlihat Rosa telah memakai hijab
sekarang.
“Ssstt… Tenang, ada aku di sini.”
Annisa menepuk pundak Rosa dengan lembut kemudian mengajaknya duduk.
“Sekarang kamu berhijab?” tanya
Annisa lembut.
“Aku belajar banyak dari Ilham. Aku pengen memakai jilbab. Tapi orangtuaku
menentang. Mereka saling menyalahkan saat aku memberitahu mereka aku sudah
berhijab. Bahkan mereka saling melempar
barang. Aku takut, Nis. Hikz…” curhat Rosa sambil terisak.
“Tapi mereka gak lukain kamu, kan?”
tanya Annisa.
Rosa menggeleng.
“Sekarang kamu harus tabah. Kamu gak
salah. Jadi, kamu gak akan lepas jilbabmu walaupun orangtuamu menentang, kan?”
“Enggak akan. Ini adalah kewajiban
bagi seorang muslimah,” jawab Rosa tegas.
Annisa tertegun, dia merasa kalimat
Rosa barusan ditujukan padanya.
“Bagus, Ros. Kamu harus bertahan.
Berada di jalan Allah pasti banyak cobaan. Sekarang kamu tidur ya. Besok semua
akan baik-baik saja. Selama kita di jalan yang benar, maka tidak ada yang harus
dikhawatirkan,” tutur Annisa.
Rosa mengangguk, kemudian merebahkan
tubuhnya di kasur.
Annisa menemani Rosa hingga ia tidur
pulas, baru kemudian pulang.
*
* *
Kalimat-kalimat Rosa semalam terus
terngiang dipikiran Annisa. Memang benar, berhijab tidak harus menunggu hati
kita, tapi itu sudah kewajiban bagi seorang muslimah untuk menutup aurat.
Annisa duduk di meja riasnya. Sebuah
kerudung panjang dipegangnya. Setengah jam kemudian, Annisa keluar dari
kamarnya menuju dapur, menemui mamanya yang tengah memasak.
“Annisa pamit, ma,” pamit Annisa.
“Mau kemana?” tanya mama Annisa.
“Kuliah dong, ma,” jawab Annisa.
“Bukan bantu temen kamu yang kemarin
itu?”
“Itu mah udah kelar, ma. Sekarang
Annisa akan terus memakai jilbab. Assalamu’alaikum.” Annisa mencium punggung
tangan mamanya, kemudian pergi.
Mama Annisa tersenyum bahagia.
* * *
~bersambung~
No comments:
Post a Comment