Wednesday, May 13, 2020

[Cerbung] Kita Berbeda part 12



            “Assalamu’alaikum.” Annisa masuk ke dalam rumah.


      “Wa’alikum salam.” Mama Annisa menjawab salam tanpa menatap Annisa. Beliau sibuk menghitung uang. “Nis, katanya temen kamu mau datang ke butik mama, tapi mana? Kok gak datang-da…” Mama Annisa memotong kalimatnya sendiri saat melihat Annisa memakai jilbab. Dia segera menghampiri Annisa dan mereba-raba wajahnya.

         “Mama jangan lebay gitu ah. Annisa dari pesantren. Nemeni teman Annisa itu. Dia udah foto pakaian desain mama.  Dan mungkin besok kalau bukan dia ya temennya bakal datang ke butik mama untuk interview,” terang Annisa kemudian pamit ke kamarnya.

            “Itu tadi Annisa, ma?” tanya mbak Ria setelah Annisa pergi.

            “Iya,” angguk mamanya masih dengan wajah bengongnya.

            “Wah, temen barunya itu membuat perubahan besar. Salut aku,” puji mbak Ria.

* * *

            Malam menjelang. Annisa telah tertidur pulas, begitu pun dengan mama dan kakaknya. Saat waktu menunjukkan pukul 11.15,  tiba-tiba handphone Annisa berbunyi dengan nada yang nyaring. Dengan setengah sadar, Annisa meraih handphone yang dia letakkan di meja kecil samping tempat tidurnya.

            Matanya yang semula setengah membuka, kini membuka lebar. Dia bangkit menjadi duduk.

            “Ada apa, Ros?” tanya Annisa panik.

            Wajar jika dia panik. Sahabatnya, Rosa tidak akan menelponnya larut malam jika tidak terjadi apa-apa.

            “Nis.. Hikz…Hikz…” Hanya suara tangis yang terdengar.

        “Tunggu, gue ke sana sekarang,” panik Annisa, kemudian menutup telpon dan segera menelpon Dicky untuk mengantarkannya ke rumah Rosa.

         Dicky yang selalu siap mengantarkan Annisa kemanapun dan kapan pun tak pikir panjang untuk segera menjemput Annisa.

       Setibanya Annisa dan Dicky di rumah Rosa, segera mereka masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, rumah itu tidak terkunci. Di dalam juga sepi. Tapi ada yang berbeda. Tak biasanya rumah itu berantakan. Banyak barang-barang bertebaran dimana-mana, bahkan sebagian sudah menjadi kepingan-kepingan yang dapat menyayat kulit seseorang.

        Orang tua Rosa baru saja berkelahi. Dan seperti biasa, setelah berkelahi mereka akan pergi meninggalkan rumah entah kemana. Annisa hapal itu. Dia yang selalu menemani Rosa saat orang tuanya tiba-tiba berkelahi. Biasanya orang tua Rosa hanya beradu mulut, tapi sekarang?

        “Rosa!” Annisa berteriak sambil berlari menaiki tangga, menuju kamar Rosa. Sedangkan Dicky, dia lebih memilih menunggu Rosa dan Annisa di bawah, karena yang dibutuhkan Rosa adalah Annisa.

         Ceklek…

            Rosa langsung memeluk Annisa saat Annisa membuka membuka pintu.

            “Nis, aku takut. Hikz,” isak Rosa.

            Terlihat Rosa telah memakai hijab sekarang.

        “Ssstt… Tenang, ada aku di sini.” Annisa menepuk pundak Rosa dengan lembut kemudian mengajaknya duduk.

            “Sekarang kamu berhijab?” tanya Annisa lembut.

            “Aku belajar banyak dari Ilham.  Aku pengen memakai jilbab. Tapi orangtuaku menentang. Mereka saling menyalahkan saat aku memberitahu mereka aku sudah berhijab. Bahkan mereka saling melempar barang. Aku takut, Nis. Hikz…” curhat Rosa sambil terisak.

            “Tapi mereka gak lukain kamu, kan?” tanya Annisa.

            Rosa menggeleng.

            “Sekarang kamu harus tabah. Kamu gak salah. Jadi, kamu gak akan lepas jilbabmu walaupun orangtuamu menentang, kan?”

            “Enggak akan. Ini adalah kewajiban bagi seorang muslimah,” jawab Rosa tegas.

            Annisa tertegun, dia merasa kalimat Rosa barusan ditujukan padanya.

          “Bagus, Ros. Kamu harus bertahan. Berada di jalan Allah pasti banyak cobaan. Sekarang kamu tidur ya. Besok semua akan baik-baik saja. Selama kita di jalan yang benar, maka tidak ada yang harus dikhawatirkan,” tutur Annisa.

            Rosa mengangguk, kemudian merebahkan tubuhnya di kasur.

            Annisa menemani Rosa hingga ia tidur pulas, baru kemudian pulang.

* * *

         Kalimat-kalimat Rosa semalam terus terngiang dipikiran Annisa. Memang benar, berhijab tidak harus menunggu hati kita, tapi itu sudah kewajiban bagi seorang muslimah untuk menutup aurat.

      Annisa duduk di meja riasnya. Sebuah kerudung panjang dipegangnya. Setengah jam kemudian, Annisa keluar dari kamarnya menuju dapur, menemui mamanya yang tengah memasak.

            “Annisa pamit, ma,” pamit Annisa.

            “Mau kemana?” tanya mama Annisa.

            “Kuliah dong, ma,” jawab Annisa.

            “Bukan bantu temen kamu yang kemarin itu?”

            “Itu mah udah kelar, ma. Sekarang Annisa akan terus memakai jilbab. Assalamu’alaikum.” Annisa mencium punggung tangan mamanya, kemudian pergi.

            Mama Annisa tersenyum bahagia.

* * *
~bersambung~

No comments:

Post a Comment