Gereja penuh dengan orang yang sedang melakukan ibadah. Hal
wajib bagi agama Kristen setiap hari Minggu-nya. Mereka sangat hikmat saat
pendeta membacakan doa. Setelah selesai, semua orang keluar dari gereja. Tampak
seorang pemuda yang berjalan sendiri. Langkahnya terhenti
tepat di depan pintu gereja. Diperhatikannya orang-orang yang baru keluar dari
gereja. Mereka bersama keluarga. Ada juga yang bersama dengan pacarnya, yang
jelas mereka tidak sendiri. Tak seperti pemuda sipit yang masih berdiri di
depan pintu gereja. Tapi, walaupun dia sendiri, wajahnya tak terlihat sedih.
Grrrtt….
Hp-nya
bergetar. Sms masuk, dari mamanya.
‘Apa kabar, Rafael sayang? Sudah sarapan?’
Pemuda
itu tersenyum lalu mulai mengetikkan sesuatu.
‘Aku baik-baik saja. Aku sudah sarapan kok,
ma. Nih baru pulang dari gereja.’
‘Syukurlah. Jaga kesehatanmu baik-baik.’
‘pasti’. Baru saja dia akan memencet
tombol send, tiba-tiba ada panggilan masuk.
* * *
Seorang
gadis muda mengangkat patung yang mengenakan pakaian muslimah ke depan kaca
besar yang merupakan dinding ruangan itu. Gadis itu menepuk tangannya setelah
patung itu telah dia pajang di butik milik mamanya. Gadis itu kemudian berjalan
mengahampiri mamanya yang berada di meja kasir. Dia hendak membantu
mamanya membungkus pakaian muslimah.
“Annisa,
tolong antarkan pakaian ini ke alamat ini,” suruh mama Annisa yang bernama mama
Tia sambil memberikan pakaian yang telah terbungkus rapi dan secarik kertas
bertuliskan alamat rumah seseorang.
“Katanya
orang itu mau ambil bajunya kemarin, tapi mama tunggu-tunggu kok dia gak
datang. Jadi, sebaiknya kamu antar ke sana. Barang kali kemarin dia sibuk.
Kasian, dia sudah bayar untuk pembuatan pakaian ini,” lanjut mama Tia.
“Siap,
ma.”
“Ya
sudah, sana pergi… minta antar Dicky saja.”
“He-eh.”
Annisa mengangguk.
Tak
berapa lama, Dicky datang dengan membawa mobilnya setelah Annisa menghubunginya.
“Kemana
nih?” tanya Dicky saat Annisa telah masuk ke dalam mobil.
“Nih!”
Annisa menunjukkan kertas berisi alamat.
Mulut
Dicky membentuk huruf “O”, menandakan dia mengerti. Mobil pun melaju.
Ting…
tong…
Annisa
memencet bel rumah pemilik pakaian yang dia bawa saat dia tiba di sana.
Ceklek...
Seorang pemuda membuka pintu.
“Maaf,
apa benar ini rumah Ibu Vina?”
tanya Annisa memastikan.
“Iya,
betul.” Pemuda itu membenarkan.
“Ini...”
Annisa menyodorkan bungkusan pakaian. “Pakaian yang Ibu Vina pesan.”
“Oh…Berap…” Baru saja pemuda itu hendak menanyakan harganya, Annisa
memotong ucapannya.
“Beliau
sudah bayar kok. Hehe… Saya pamit. Salam sama ibu Vina, semoga dia suka dengan
pakaian pesanannya dan mau mampir lagi ke butik kami. Assalamu’alaikum.” Annisa
pamit dan lalu pergi menghampiri Dicky yang menunggunya di mobil.
* * *
Seorang
pemuda bernama Bisma memarkirkan motornya di garasi rumahnya. Dia turun dari
motor dengan ekspresi datar, tapi dilihat dari kantung matanya yang besar, dia
sepertinya begadang semalaman. Dia berjalan masuk ke dalam rumah. Tidak ada
yang menyambutnya. Suara kehidupan pun tidak terdengar. Dia melirik ke arah
ruang makan. Tidak ada siapa-saipa. Tapi ada secarik kertas di atas meja makan.
Bisma mendekat ke meja makan, lalu membaca isi kertas itu.
‘Nasi
goreng ada di atas meja. Kalau kamu mau
sarapan yang lain, uangnya sudah mama siapin.’
Bisma meremas kertas itu.
Tanpa berniat membuka penutup nasi, dia beranjak menuju lantai atas, kamarnya.
Bisma membanting pintu kamar, kemudian merebahkan tubuhnya di kasur.
“Hh..” Bisma tersenyum
kecut. “Sok perhatian, tapi dia gak tau kalau anaknya gak ada di rumah
semaleman,” dengusnya.
* * *
~Bersambung~
No comments:
Post a Comment