Malam Minggu ini, saya habiskan di masjid untuk
pengajian remes (remaja masjid) sekaligus rapat. Hari ini aku sebut sebagai
hari gila, karena sikap beberapa pemuda masjid yang tidak biasa hari ini.
Pertama,
ada salah satu teman laki-lakiku yang memakai baju dengan motif dan warna yang
lebih mencolok dibanding yang lain. Sebut saja dia si D. Si D ini, selalu
senyum-senyum sendiri sambil meliri ke sudut kiri (barisan perempuan). Awalnya
aku tidak tahu karena sibuk mengaji. Tapi, setelah aku mengaji, sahabatku
bisikki aku.
“Coba lihat si D. Dari tadi senyum-senyum tidak,”
bisiknya.
Lalu aku sahabatku memperhatikan dia. Mencari tahu
penyebab si D seperti itu.
Aku berpendapat, ada salah satu perempuan di sudut
kiri yang dia sukai. Menurutku si Orang Baru. Kenapa aku sebut Orang Baru,
karena dia memang baru di situ. Aku juga baru melihatnya. Aku yakin, orang baru
itu yang si D lihati, karena kalau yang lain masih pada kecil. Cuma dia yang
seumuran (kurang lebih).
Selain senyum-senyum tidak jelas sambil melirik ke
sudut kiri, si D mulai CCP. Pura-pura ini lah, itu lah, anu lah. Ada saja alasannya
supaya bisa mendekati si Orang Baru. Sikapnya itu kelihatan sekali kalau sedang
CCP, apalagi dia jarang mengalihkan pandangannya dari si Orang Baru.
Kedua, temanku yang
duduk di depan. Kebetulan yang di depan ada 4 orang. Tiga orang
sibuk berdiskusi, sedangkan yang satu-yang duduknya paling pinggir malah sibuk makan. Mana makannya pake dikasi’ lucu, lagi. Mulutnya dimonyong-monyongin gitu. Banyak yang melihat ke arahnya sambil menahatn tawa, tapi dia tetep PD dengan caranya makan. Mungkin dia lagi ngelawak. Saking asyiknya makan, waktu ditanyai pendapat oleh tiga orang lain, dia cuma manggut-manggut saja.
sibuk berdiskusi, sedangkan yang satu-yang duduknya paling pinggir malah sibuk makan. Mana makannya pake dikasi’ lucu, lagi. Mulutnya dimonyong-monyongin gitu. Banyak yang melihat ke arahnya sambil menahatn tawa, tapi dia tetep PD dengan caranya makan. Mungkin dia lagi ngelawak. Saking asyiknya makan, waktu ditanyai pendapat oleh tiga orang lain, dia cuma manggut-manggut saja.
“Aku mah oke wae, yang penting aku bisa
makan,” kataku mendubbing suara hati temanku itu.
Ketiga,
juniorku. Sebenarnya dia anak yang baik, pintar, patuh, rajin, dan mungkin suka
menabung. Tapi, hari ini, dia agak aneh. Dia duduk bersandar di tiang dengan
wajah sedikit lesu… atau ngantuk ya?
“Lamanya ini ndak selesai-selesai.
Cepetan. Supaya aku bisa pulang, terus tidur,”
kataku mendubbing suara hati juniorku itu.
Terakhir,
si Anak yang Paling Muda. Sebenarnya dia tidak bersikap tidak biasa. Tapi,
setiap cerita harus punya pesan atau amanat. Nah, aku ambil amanat cerita ini
dari si Anak yang Paling Muda. Dia sangat serius mendengarkan Mas-mas-nya
bicara, sementara yang lain sibuk dengan cerita masing-masing.
Sikap si Anak yang Paling Muda inilah yang patut di
contoh. Kita harus mendengarkan orang di depan kita bicara. Kita harus
menghargai mereka.
No comments:
Post a Comment