Setelah
3 tahun lamanya selalu diantar oleh Dicky, sekarang Annisa harus memberanikan
diri keluar tanpa Dicky.
Mulai hari ini sampai beberapa hari
ke depan, Dicky melakukan penelitian di luar kota. Sebenarnya Dicky tidak tega
meninggalkan Annisa, tapi Annisa menyankinkan Dicky untuk tidak khawatir,
karena tidak mungkin Annisa terus bergantung pada Dicky.
Pagi ini, sebelum Annisa ke
kelasnya, dia menemui Ilham terlebih dahulu.
“Ilham!” panggil Annisa setengah
berteriak.
Ilham yang berada di depan Annisa menoleh.
“Ada apa? Eh, kamu Annisa ya?” tanya
Ilham melihat perubahan penampilan Annisa.
“Iya, ini aku. Oh iya, aku nemui
kamu karna aku mau minta tolong,” ujar Annisa.
“Minta tolong apa?” tanya Ilham
sambil mengerutkan kening.
“Tolong kamu jagain Rosa.”
“Jagain? Maksudnya?” Kening Ilham
semakin berkerut.
“Pokoknya jagain. Jangan biarkan
Rosa murung. Kalau dia murung, tolong kamu hibur dia. Sekarang aku udah gak
sekelas dengan Rosa, jadi kami gak sedekat dulu. Rosa sangat percaya kamu, jadi
tolong jangan biarin Rosa sedih. Dan terus beri dia ilmu yang udah kamu
pelajarin di pesantren,” pinta Annisa. Ditariknya napas dalam-dalam.
“Dan lagi,” sambung Annisa. “Kalau
kamu udah di kelas, tolong kabari aku kalau Rosa gak masuk. Ini nomorku,”
Annisa memberikan secarik kertas berisi nomor handphone-nya. “Aku mau ke
kelasku. Assalamamu’alaikum.”
“Tunggu, Nis!” cegah Ilham. “Aku
masih gak ngerti maksudmu.”
Annisa tak menjawab. Tentu saja,
Annisa tidak mau menghilangkan kepercayaan Rosa terhadapnya, karena hanya
Annisa dan…Dicky yang tahu tentang kondisi keluarga Rosa.
*
* *
No comments:
Post a Comment