WARNING: Semua nama disamarkan
***
Langsung saja ke lokasi KKN.
Dari kecamatan, kami (11 orang) diantar ke rumah lurah menggunakan mobil. Orang yang mengantar kami sangat ramah. Dia bercerita kalau desanya sudah pernah dijadikan tempat KKN. Bahkan beliau memberitahu kami tempat rekreasi yang biasanya didatangi anak KKN terdahulu.
Lokasi KKN dekat dengan kota (bertolak belakang dengan pemikiranku yang bakal ditempatkan di daerah pelosok), cuma beberapa menit saja lah kalau mau ke kota. Tapi masih desa lho. Masih banyak sawah dan pepohonan. Bahkan mayoritas penduduk desa itu adalah petani.
Mobil melaju dengan lambat dijarak kurang lebih 50 meter dari jalan poros. Mungkin rumahnya sudah dekat. Menebak-nebaklah diriku kemungkinan rumah mana yang akan kami tempati. Mobil menepi ke sebelah kiri sebelum akhirnya berbelok ke kanan dan berhenti di sebuah rumah besar berwarna biru yang awalnya aku pikir bukan rumah itu yang akan kami tempati. Justru aku pikir rumah kayu di sebelahnya yang akan kami tempati. Teman-temanku juga berpikir demikian. Maklum, sebelumnya, salah satu teman KKN ku, sebut saja Indah sudah melakukan observasi di situ. Foto rumah yang biasanya dijadikan tempat KKN berbeda dengan rumah yang kami lihat sekarang.
Foto yang disebarkan Indah merupakan rumah kayu panggung. Sedangkan rumah yang kini sudah kami masuki adalah rumah besar berdinding tembok dan memiliki tiga lantai. Lantai ke tiga adalah rooftop.
Seperti yang diajarkan ibu kostku waktu dulu pertama kali minta izin untuk berkegiatan di luar daerah, aku mengucapkan salam ketika pertama menginjakkan kaki turun dari mobil. Salam masuk rumah pun tak lupa aku ucapkan.
Rumah yang kami tempati adalah rumah kedua milik pak lurah. Jadi, rumah itu tidak ada yang menempati sebelumnya. Katanya sih baru mau ditempati, tapi karena kami datang, anak pak lurah menunda dulu untuk menempati rumah itu.
Rupanya, kami diberikan penjaga rumah, lelaki sekitar umur 30-an. Dia akan tinggal bersama kami selama KKN. Anak pak lurah yang tadi mengantar kami mengatakan kalau ada apa-apa bilang saja sama penjaga ini, sebut saja Kace.
"Kami minta maaf karna pak lurah tidak bisa sambut kalian. Beliau lagi ada urusan," kata anak Pak Lurah, sebut saja Kak Iwan. Belakangan kami sadar kalau selama KKN, pak Lurah sama sekali tidak pernah masuk ke dalam rumah keduanya. Jika dia datang, palingan cuma di depan pintu.
Kak Iwan juga memberitahu kami kalau ada keperluan bisa bilang sama Pak Lurah langsung atau ke dia.
Hari kedatangan kami bertepatan hari Jum'at. Jadi, setelah breafing alias bercakap-cakap sebentar, para lelaki pergi ke masjid untuk shalat Jum'at. Sedangkan kami para perempuan mengusung barang-barang kami ke lantai 2 di mana kami sudah mengklaim bahwa lantai 2 adalah area perempuan.
Rupanya di atas ada 2 kamar. Kamar pertama sudah ada spring bed, lemari, meja rias, dan kipas angin yang menempel di dinding. Sedangkan kamar ke dua, masih kosong melompong.
Begitupun di lantai bawah. Keadaannya sama. Bedanya, kamar satunya ada kasurnya. Kasur itu dipakai Kace sih.
Bu Lurah dan anak perempuannya datang membawakan kipas angin dan karpet untuk di kamar atas yang kosong itu.
"Ada perlengkapan dapur di bawah. Tapi kalau kurang lengkap, kalian bisa pinjam ke saya," ucap Si Nenek yang datang bersama Bu Lurah. Nenek itu kalau tidak salah adalah mertuanya Bu Lurah. Ah, pokoknya masih ada hubungan keluarga. Rumahnya di sebelah rumah kami, yang awalnya aku pikir di situ kami tinggal.
"Jangan pinjam ke tempat lain ya. Bukannya apa. Takutnya nanti mereka bicara yang tidak-tidak tentang kalian kalau misal barangnya kembali tidak seperti semula. Kan nanti kami juga yang kena. Soalnya dulu pernah kejadian. Ada yang pinjam barang ke tempat lain, salah kembalikan. Tertukar begitu. Malah jadi bahan cerita. Tapi kalau pinjamnya cuma ke saya, kan jelas toh. Ini punyanya siapa."
"Oh, iye, Nek," jawab kami.
"Kamar mandi di sini ada 2. Di bawah satu dan di atas satu." Bu Lurah menunjuk kamar mandi di pojokan di bawah tangga menuju rooftop, yang membuat kami kompak melihat ke arah jari telunjuk bu lurah. "Tapi yang itu jangan dipake mandi. Soalnya airnya tidak bisa mengalir. Kalau kencing bisaji. Sempat kebelet tengah malam trus males turun. Bisaji kencing di situ. Tapi kalau air di ember habis, bawa naik air. Suruh laki-lakinya. Atau kalain ta' satu baskom gantian bawa. Terserah. Soalnya di situ krannya juga tidak berfungsi. Sudah pernah diperbaiki sih, tapi rusak lagi."
"Oh, iye, bu. Sekalian tidak usah dipake saja," jawab Tina.
Setelah bu lurah pergi, kami langsung membagi diri, ada yang membersihkan rumah dan ada yang memasak. Pikiran awal kami, "kita harus tunjukkan ke para lelaki kalau kita strong. Jadi pas mereka pulang, semua sudah beres. Tinggal makan."
Saat mengemas pakaian (kami memutuskan menggunakan lemari untuk pakaian kami. Bagi yang mau saja sih), aku menemukan Al-Qur'an yang berada di erang-erang plastik. Di dalam kotak itu juga ada hiasan, seperti Al-Qur'an itu adalah mahar. Entah mengapa, perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Al-Qur'an ini dibiarkan di sini padahal rumah ini tidak ditempati. Klip box masih ada di setiap sisi, kecuali sisi kanan.
Ah, mungkin supaya rumah ini tidak ada penghuni halusnya.
Aku pun mengeluarkan box Al-Qur'an itu dan menaruhnya di atas lemari.
Berhubung rumahnya besar sekali dan kelihatannya bersih, kami hanya menyapunya saja. Kata teman sekelasku, kalau rumah kosong harus dipel dulu dan dibacakan ayat kursi di setiap sudut rumah. Ya, aku mana tahu. Dan aku masih berpikir positif sampai beberapa hari ke depan, sampai tiba-tiba salah satu temanku mengeluh di breafing.
***
Ini sudah beberapa hari kami di lokasi KKN. Breafing juga sudah beberapa kali dilakukan. Topik terakhir yang dibahas adalah unek-unek. Bersuaralah Si Ansar.
"Begini. Kalian tahu toh, kalau saya itu punya insomnia. Susah ka tidur kalau malam. Tidak bisa ka tidur cepat. Jadi tolong hargai saya. Jangan nyalakan alrm jam 3. Baru ka tidur kodong jam segitu. Kalau memang kalian nyalakan alarm jam 3, langsung matikan. Saya terganggu, tau. Apalagi itu alarmnya Nisa Sabyan."
Terdengar temanku langsung nyeletuk, "Pak Kordes". Menandakan kalau alarm Nisa Sabyan itu milik Pak Kordes (Koordinator Desa). Temanku juga sempat menyebut namaku. Tapi aku tidak pernah nyalakan alarm jam 3. Ngapain? Belum waktu subuh, juga. Shalat tahajud? Waduh, kayaknya bakal gak berfungsi itu alarm, mengingat aku selalu tidur jam 1, kadang juga jam 2. Entahlah, itu terjadi di tempat KKN. Kayaknya susah banget tidur cepat. Mungkin karna tempat baru kali ya.
"Sebelumnya tidak suka ka dengarkan lagu begitu nah," lanjut Ansar menghiraukan celetukan teman-teman, "tapi saya yakin, pulang ka dari KKN, hapal ka lagu itu."
"Tapi bukan jam 3 alarmku," bela Pak Kordes setelah mengecek HP nya. Mungkin dia mau memastikan kalau alarm yang dia nyalakan bukan jam 3.
"Iya, bukan Nisa Sabyan alarm jam 3. Merdu sekali suaranya."
"Merdu bagaimana?" tanyaku. Serius, aku penasaran. "Suara air, bukan?" Soalnya alarmku suara air, dan sepertinya sih termasuk kategori merdu. Haha...
"Tidak tau. Pokoknya merdu sekali. Bagaimana itu kalian mau bangun kalau alarmnya merdu sekali. Bukannga fungsi alarm itu untuk membangunkan? Seharusnya pasang lagu rock supaya bangun. Masa' merdu sekali. Malah tambah tidur itu kau eh." Ansar kembali mengomel.
Teman-teman yang lain mengaku tidak pernah nyalakan alarm jam 3. Bahkan ada juga yang tidak pernah pasang alarm.
Ansar menambahkan, "kalian tidak tau bagaimana rasanya seorang diri yang masih sadar di bawah ini. Mengerikan. Mengerikan sekali."
Dia berulang kali mengatakan mengerikan dengan ekspresi yang menurutku dia tidak terlalu merasa ngeri, justru dia seperti menertawakan dirinya sendiri.
"Ngeri bagaimana?" Ah, seharusnya aku tidak bertanya demikian.
"Pokoknya ngeri. Makanya, begadang mki di bawah sini, supaya kamu rasakan juga."
"Ogah!" tolakku mentah-mentah. Enak saja dia ngajak ngeri-ngerian bareng.
***
No comments:
Post a Comment