Sunday, May 21, 2023

Rumah Besar di Tempat KKN (Kisah Nyata) part 2

 



WARNING: Semua nama disamarkan

***


Malam itu, entah ini malam ke berapa KKN. Aku belum tidur sampai jam 12 lewat. Sebenarnya aku sudah pengen pipis dari tadi, tapi aku tahan karena takut turun sendiri. Aku melihat jam di HP yang dari tadi kupakai nonton film yang sudah aku download. Hampir jam 3. Aku teringat kalau pak Kordes mau puasa sunah hari ini. Dia selalu puasa Senin-Kamis. Dan dia sempat mengode ke kami kalau mau dimasakkan untuk sahur. Padahal, katanya dia terbiasa tidak sahur. Terus tiba-tiba hari ini pengen sahur.

Pak kordes itu orang yang paling alim diantara kami. Tidak perlu aku sebut namanya. Kita sebut saja Pak Kordes. Rumah keduanya itu masjid. Jadi, kalau dia tidak ada di posko (sebutan untuk rumah KKN), ya pastilah di masjid.

Aku memakai rok dan jilbab terlebih dahulu sebelum turun ke lantai 1. Tujuanku ya kamar mandi. Sekalian mengecek apakah Pak Kordes perlu dimasakkan.

Kamar mandi ada di dapur yang menyatu dengan kamar Pak Kordes. Jadi di depan kamar mandi ada kamarnya Pak Kordes yang juga sekamar dengan Ridwan.

Saat aku melintas kamarnya Pak Kordes, terdengar suara instrumen musik yang merdu. Tumben alarmnya pak Kordes bukan Nisa Sabyan, pikirku. Aku lanjutkan ke kamar mandi. Setelah selesai membuang semua yang perlu dibuang, aku keluar kamar mandi. Suasana masih sepi, pak kordes belum bangun untuk sahur sementara alarm masih terdengar. Dasar. Pantas Ansar bilang, sepulang KKN dia pasti hapal lagunya Nisa Sabyan. Alarm yang ini juga tidak dimatikan. Oh iya, Ansar pergi ke kota kemarin untuk beli keperluan, dan belum pulang. Makanya, lantai 1 terasa sepi, karna biasanya masih ada dia yang begadang. Atau paling tidak, dia yang masih tidur di ruang tamu (ini biasa aku lihat kalau bangun untuk shalat Subuh).

Pengen berteriak panggil pak kordes, tapi malas. Urusannya. Toh dia juga terbiasa tidak sahur.

Esok harinya, saat membuat makan malam, kami semua berkumpul di dapur, kecuali Ansar yang masih belum kembali.

Tiba-tiba aku teringat alarm semalam. Dan alarm merdu yang dibicarakan Ansar.

"Pak Kordes sudah ganti nada alarm kah? Gara-gara ditegur sama Ansar pas breafing itu?" tanyaku yang sebenarnya mulai merinding.

"Tidak. Masih itu."

"Trus tadi malam alarmnya siapa yang kudengar?"

Semua mata langsung menatapku. Beberapa mulai menakut-nakutiku.

"Iiih ...." rengekku, berharap mereka berhenti menakut-nakutiku. Serius, aku rada takut.

Kuceritakan perihak alarm yang kudengar beserta niatku turun semalam.

"Wih, yang didengar Ansar juga jam 3 toh?" tanya Wati memastikan.

"Iya."

Ketiga lelaki itu mengaku kalau tidak menyalakan alarm hari ini. Bahkan pak kordes sekalipun yang mengaku mau sahur hari ini.

"Dengarkan ka dulu alarm kalian."

Alif yang pertama mendengarkan alarmnya padaku. Aku mencoba mengingat. Sepertinya bukan.

"Kayaknya bukan. Eh, entahlah. Lupa ka juga suaranya."

"Bukan itu," jawab Wati dengan ekspresi yakin. "Biarpun kita tidak ingat, tapi kalau kita dengar lagi suaranya, pasti bakal ingat. Apalagi baru tadi subuh kejadiannya."

"Ini alarmku yang suara instrumen. Tapi tidak kunyalakan tadi malam."

Kudengarkan suara instrumen yang keluar dari HP Pak Kordes.

"Kayaknya ini," jawabku ragu. Sebenarnya aku tidak yakin instrumen yang kudengar sekarang apakah sama dengan instrumen yang kudengar semalam. Aku hanya ingin membuat pikiranku menjadi positif.

"Iya, ini." Ucapanku mantap saar mendengar alarm dari temanku yang lain, walaupun sebenarnya aku masih ragu. Sekali lagi aku hanya ingin membuat pikiranku positif. Setidaknya sekarang aku masih bisa berpikir (memaksa berpikir positif deng. hehe), mungkin itu alarmnya Ridwan, karna Alif bukan dan Pak Kordes kayaknya juga bukan. 

Nada alarm Alif tidak merdu, dan nada alarm Pak Kordes agak merdu. Sedangkan alarm yang kudengar semalam merdu sekali. Pas suaranya keluar dari kamar Pak Kordes. Dan tadi malam tidak ada yang tidur di ruang tamu, berarti semua tidur di kamar.

***

Malam itu, aku dan Wati tidur duluan di kamar dua yang tidak ada springbed-nya. Mungkin jam 11-an kami sudah terlelap. Tiba-tiba, aku terjaga karena mendengar suara perempuan menyanyi dari kamar sebelah. 

Di kamar sebelah ditempati oleh Aisyah, Indah dan Ayu. Kebetulan Indah lagi di kota. Jadi di sebelah hanya ada Aisyah dan Ayu.

Siapa sih ini menyanyai tengah malam? Ya, sekarang sudah tengah malam saat aku melihat jam di HP ku.

Kalau dari suaranya, itu bukan Ayu. Ayu adalah orang yang sudah aku kenal sebelum KKN. Jadi, aku tahulah bagaimana suaranya. Sedangkan Aisyah? Masa iya? Dia kan si ukhti yang bercadar. Masa' dia nyanyi-nyanyi gak jelas begini. Bahasa apa lagi ini dipake.

Makin lama suaranya makin keras. Rupanya, Wati juga terbangun. Dia mengeluh, karna tidurnya terganggu. Tapi, karna kami sama-sama tidak tahu suara siapa itu, kami memutuskan untuk diam dan mengabaikan. Berharap suara itu tidak terdengar lagi.

Keesokannya, kami menyiapkan makan siang seraya bercerita. Semua ada di dapur kecuali Ayu, Aisyah, dan pak Kordes. 

Wati yang memulai bercerita suara perempuan menyanyi tadi malam.

"Lagu apa yang dinyanyikan?" tanya Alif tegang.

"Tidak tau ka. Karna tidak update musik ka," jawabku.

"Lagu daerah atau lagu apa?"

"Bukan lagu daerah," jawabku dan Wati bersamaan.

"Ada lagu barat. Ada juga yang tidak kutau apa bahasanya, tapi bukan lagu daerah," imbuhku.

"Ah. Kukira. Santai saja. Baru ka merinding kalau lagunya lagu daerah."

"Paling Ayu itu."

"Bukan!" elakku tegas. "Kukenali ji suaranya Ayu. Bukan dia."

"Oh, berarti Aisyah."

Yang lainnya pun yakin kalau itu Aisyah. Memang sih, walaupun bercadar, Aisyah adalah perempuan bercadar yang paling aneh yang pernah aku lihat. Bahkan, teman-teman sekelasnya tidak ada yang suka dia. Itu aku dengar saat berkunjung ke posko lain, dan ada teman sejurusannya di sana. Mereka bercerita tentang Aisyah yang katanya masih setengah-setengah menutup aurat, sampai dijuluki "hijrah sosmed".

Kalau menurutku sih, tidak mungkin dong orang langsung berubah 100% dalam semalam. Semua juga butuh proses. Dan si Aisyah ini masih dalam proses, tapi dia langsung memberanikan bercadar sembari memperbaiki akhlaknya. Menurutku, tidak ada yang salah berteman dengan orang seperti itu selama dia tidak ngajak berbuat dosa.

Soal suara menyanyi itu. Ya, dihari berikutnya, aku mendapati kalau Aisyah yang menyanyi. Ya ampun. Bikin keget saja sih malam itu. Tengah malam sih.

***

Suatu siang. Saat aku hendak ke kamar, tiba-tiba Indah bicara sesuatu yang membuatku menghentikan langkah.

"Ini Atika. Tanyakan mi langsung," ucapnya pada Alif.

"Kenapa?" Aku jadi penasaran.

"Sini dulu." Alif minta aku duduk di sampingnya, tapi aku lebih memilih duduk di samping Indah.

"Kenapa?" tanyaku lagi, karna sepertinya dia enggan untuk bertanya.

"Ada bede' na dengar suara perempuan mengaji di lantai dua subuh-subuh." Malah Indah yang menjawab pertanyaanku.

"Merdu sekali suaranya nah." Kali ini Alif yang bicara.

"Tidak pernah ka mengaji subuh-subuh, karna sudah shalat langsung tidur. Hahaha...."

"Hari apa itu kamu dengar kah?"

"Masih dekat2 ini."

"Auh. Jelas bukan saya itu. Masih halangan ka."

"Siapa itu di'?"

"Sudahlah. Hal bagus itu. Mengaji lho. Berarti baik. Siapa tau itu pertanda kamu mau dapat rejeki. Hehe..."

***




No comments:

Post a Comment