Sunday, May 21, 2023

Rumah Besar di Tempat KKN (Kisah Nyata) part 3


 

WARNING: Semua nama disamarkan

***


Malam itu, aku baring bersama dengan Wati di kamar yang tidak ada springbed-nya. Kami asyik dengan tontonan di HP masing-masing.

Tiba-tiba Diva membuka pintu dengan ekspresi kaget. Tangannya masih memegang gagang pintu saat dia bertanya, "siapa yang lewat?".

"Siapa?" tanyaku dan Wati. Masalahnya, pintu kami tutup. Jadi mana tahu siapa yang barusan lewat.

Diva lalu bercerita. Tadi dia ada di kamar sebelah, baring-baring di springbed seraya memainkan HP menghadap ke pintu. Tak disengaja, dia melihat sekelebat orang lewat memakai pakaian pink.

"Indah," sahutku. Aku ingat kalau tadi Indah pakai baju pink.

"Bukan. Indah ada di bawah. Makanya, datang ka ke sini tanya kalian."

Iya sih. Dari tadi suara Indah di bawah kedengaran sampai ke atas.

Tiba-tiba suasana langsung tegang. Diva memutuskan untuk turun dan bertanya pada Indah, tapi jelas kalau Indah belum naik sama sekali. Dia masih asyik bercerita.

Di malam yang lain. Aku juga mengalami kejadian yang hampir serupa. Hari itu Ramadhan. Seharusnya setan dikunci. Tapi .... 

Entahlah. Aku harap mataku yang salah.

Malam itu pukul 2. Aku belum tidur, karna baru pulang berkunjung dari posko lain jam 12 malam. Aku sudah sahur memang. Makanan untuk sahur juga sudah aku dan Diva siapkan, supaya kami tidak perlu bangun sahur lagi. Jadi, teman-teman yang lain bisa langsung makan saja.

Diva yang sama-sama memainkan HP sepertiku, tiba-tiba bangun. Sebelum keluar, dia sempat bergumam kalau Indah dan Alif datang. Sepertinya dia sudah dihubungi sebelumnya. Indah dan Alif baru pulang dari jalan-jalan setelah berkunjung ke posko lain bersama aku dan Wiwin.

Pintu kamar dibiarkan Diva terbuka. Aku yang malas menutup pintu membiarkannya. Aku masih pada posisiku, terlentang sembari menonton film di HP menghadap ke pintu. Di situlah aku mengalami kejadian seperti Diva tempo hari. Tapi yang aku lihat bukan baju pink, tapi baju putih bercorak hijau. Sempat aku geser HP ku untuk melihat dengan jelas, tapi kelebatan itu sudah lewat. Selanjutnya aku malah mendengar suara pintu balkon belakang terbuka.

Awalnya aku pikir Diva yang lewat, karna warna bajunya hampir mirip sama daster yang sering dia pakai. Diva ini sering pakai daster di posko. Haha... 

Tapi, masa iya itu Diva. Dulu saja, pas mau tutup pintu balkon belakang karna sorenya lupa ditutup, dia sampai memalingkan muka. Tidak mau sama sekali melihat keluar. Maklum, di belakang gelap sekali. Apalagi ada pohon bambunya.

Oh iya, lokasi posko kami itu diapit oleh dua kuburan dan dua gunung, serta banyak tanaman bambu. Kalau sudah petang, suasananya sudah kayak di pedesaan sekali. Bunyi jangkrik bersahutan dengan bunyi binatang malam lainnya. Bikin ngeri pokoknya bagi saya yang penakut.

Aku melihat lagi kelebatan lewat. Kali ini berwujud jelas. Indah. Entah apa yang dilakukannya di bawah tangga sebelum dia masuk ke kamar sebelah. Lalu dia kembali lagi, dan terus naik ke rooftop. 

Tunggu! Indah ini lebih penakut daripada saya. Ngapain dia naik ke rooftop sendiri? Atau ada Diva di atas? Mungkin suara pintu yang kudengar bukan pintu balkon, tapi pintu rooftop.

Aku masih tidak bergeming dari tempatku. Aku melanjutkan filmku, mencoba menghilangkan pikiran negatifku. 
Beberapa saat kemudian, Diva masuk dari arah bawah. Itu artinya bukan dia yang aku lihat tadi, karna aku belum melihat ada yang lewat kembali. Bahkan Indah masih di rooftop.

"Indah naik ke atap," laporku tanpa diminta. Entahlah. Sepertinya aku butuh kepastian.

"Iya. Ada Alif juga di atas."

"Hah? Dia lewat sini?" tanyaku menunjuk pintu yang kini sudah ditutup Diva.

"Sudah ji kubilangi jangan tengok ke kamar, karna pintunya terbuka."

Aku tahu maksud kalimat Diva. Dia khawatir aku kaget karna Alif naik ke lantai 2 sementara pintu kamar terbuka dan aku dalam keadaan tidak menutup aurat. Padahal aku hampir bersorak riang kalau kelebatan yang aku lihat adalah manusia.

"Kapan dia naik?" tanyaku.

"Pas turun ka bukakan pintu."

Oh, cocok. Aku bernapas lega.

Esoknya, saat buka puasa, Alif mendapat ledekan dari teman-teman karena tidak ganti baju dari kemarin.

Mendadak, aku langsung menegang, karna baju yang dipakai Alif sekarang berwarna merah. Kalau dia betul tidak ganti baju dari kemarin, lalu yang pakai baju putih-hijau siapa?

"Tadi malam kamu naik ke atap, Alif?" tanyaku. Ada yang ingin aku pastikan.

"Iya," jawabnya sambil menyendok es buah dari panci ke dalam gelasnya.

"Pakai baju warna apa?"

"Baju ini." Dia menundukkan kepalanya untuk menunjuk baju yang dia kenakan. "Itu mi anak-anak bilangi ka tidak ganti baju, karna baju ini yang kupake dari kemarin."

"Serius? Baju itu?" Aku bertanya berkali-kali, dan jawabannya tetap sama. Dia malah jadi curiga aku sudah melihat sesuatu.

"Kenapa?"

"Tidak ji." Aku ingat perkataan temanku yang peka sama makhluk halus. Dulu dia pernah lihat sosok halus pas berkegiatan di luar daerah. Dia baru cerita pas sudah kembali ke kota. Katanya, dia tidak mau cerita di sana, karna kalau cerita nanti malah diikuti. Makanya, pas Alif bertanya, "Ada yang kamu lihat kah?", aku menjawab "tidak ada."
Sama sekali aku tidak mau cerita dulu.

***

Jurusanku adalah jurusan pendidikan. Jadi walaupun KKN ku tidak gabung dengan PPL karena aku sudah PPL, aku tetap sesekali datang ke sekolah yang letaknya ada di depan poskoku.

Hari itu, Bu Guru bertanya-tanya tentang rumah yang aku tempati padaku di jam istirahat. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya dia bertanya. Kalau sebelumnya dia hanya bertanya, kali ini dia memberitahuku sesuatu yang aku lebih pilih tidak tahu. Tapi beliau sudah terlanjur menceritakannya. Kan jadinya kepikiran.

Setelah mendengar cerita tentang rumah yang aku tempati, aku tidak cerita ke teman sampai pada suatu malam ada yang mengungkitnya.

Malam itu, malam pertama Ramadhan. Beberapa di antara kami pada pulang kampung untuk puasa pertama bersama orang tua. Sedangkan aku, Diva, Ridwan, dan Ansar memutuskan untuk tinggal. Aku malas pulkam karena kampungku jauh. Capek di jalan saja. Diva kasihan, karna dilarang mamanya pulang. Haha... Dia selalu mau pulang, padahal kampungnya yang paling dekat diantara kami. Namun, apa daya. Dia lebih memilih untuk tidak menjadi anak durhaka.

Ridwan dan Ansar memutuskan menemani kami karena kasihan kalau hanya aku dan Diva yang tinggal di sini.

Entah siapa yang memulai. Kami malah cerita horor. Hal yang membuatku penasaran dari breafing sebelum-sebelumnya saat Ansar selalu menekankan kalimat "kalian tidak tau bagaimana rasanya seorang diri yang masih sadar". Akhirnya malam ini dia cerita.

Katanya, dia sering dengar suara ribut-ribut di lantai 2, kadang orang cerita keras sekali, kadang langkah lari-lari, dan kadang orang mandi. Yang mandi ini yang paling tidak masuk akal, karna jangankan mandi, kamar mandinya saja tidak pernah dipake sama sekali, airnya pun tidak bisa sampai ke atas. Sampai sekarang saja, aku tidak tahu bagaimana isi di dalam kamar mandi itu.

Awalnya aku pikir Ansar bohong karna mau nakut-nakuti kami, tapi ucapannya itu didukung dengan bukti dari Diva.

Diva bilang kalau di malam pertama menempati rumah itu, Ansar chat dia dengan bertanya, "Siapa belum tidur di atas?"

Pertanyaan itu hampir tiap malam ditanyakan ke Diva, karna kebetulan dia yang sering online sampai tengah malam.

Diva selalu jawab jujur. "Tidak ada."

Pembicaraan sampai di situ, Ansar tidak menjelaskan apa-apa. Tapi suatu malam malah pernah Diva di chat oleh Ansar begini: "Suruh tidur itu anak-anak di atas. Ribut sai. Kalau tidak mau tidur, tidak usah kodong ribut. Bikin orang lain tidak bisa tidur."

Padahal saat itu, tidak ada yang ribut. Rutinitas perempuan tiap malam itu, bikin ributnya ya di lantai 1. Kalau sudah naik ke lantai 2, kami pada ambil posisi baring main HP ataukah bersiap tidur. Kalau pun gosip tetap sambil baring dengan suara kecil. 

Nah, di malam pertama Ramadhan, Ansar menjelaskan kalau dia peka dengan hal-hal gaib. Peka saja, bukan bisa lihat. Dia juga cerita tentang rumah yang kami tempati itu.

Tapi cerita dari dia sedikit berbeda dengan cerita yang aku dengar dari ibu-ibu. Btw, dia dapat cerita dari rumah yang kami tempati itu dari bapak-bapak. Di antara kami memang dia yang paling sering nongkrong sama bapak-bapak.

Cerita yang aku dengar dari ibu-ibu, rumah itu sebenarnya sudah pernaH pindah kepemilikan tiga kali. Pak Lurah adalah orang ketiga. Dua pemilik sebelumnya pindah ke tempat lain karna anaknya meninggal.

Btw, aku tidak tahu ekspresiku bagaimana saat mendengar anak para pemilik sebelumnya meninggal. Tapi aku ingat betul ibu-ibu itu dengan cepat bilang, "Tapi meninggalnya tidak di sini, di luar. Yang pertama meninggal karna sakit, dibawa pergi berobat terus meninggal."

Kalau aku tidak salah ingat, anak pemilik yang kedua meninggal karna kecelakaan. Intinya meninggalnya bukan di rumah itu.

Sewaktu aku selesai cerita, Ansar langsung membantah, "Ndak begitu cerita sebenarnya."

Kemudian dia ceritakan versi yang dia dengar dari bapak-bapak. Katanya, memang dua anak meninggal, anak pemilik pertama dan anak pemilik kedua, tapi meninggalnya di rumah itu, bukan di luar.

Nah, alasan meninggalnya memang sakit, tapi bukan sakit biasa. Hh ... Sampai sini sebenarnya aku agak ragu mau nulisnya.

Intinya adalah, ada yang bersekuti ke selain Allah, dan anaknya menjadi korban. Entah si manusia mencapai keinginannya atau tidak, yang jelas setelah kejadian itu, rumahnya dijual.

Nah, untuk anak pemilik yang kedua, kami tidak tahu apa masih ada hubungannya dengan apa yang telah dilakukan pemilik yang pertama, yang jelas pemilik kedua tidak mau tinggal lagi di rumah itu dan akhirnya dibeli oleh Pak Lurah.

Pak Lurah saja kalau kunjungi kami, tidak pernah masuk ke dalam rumah. Awalanya aku membantah ucapan temanku dengan bilang, "Kan kita di luar, makanya Pak Lurah tidak masuk."

"Pak Lurah tidak sambut kita di hari pertama, malah anak sama istrinya yang datang. Di hari itu, kita kan breafing di dalam rumah," sangkal temanku.

"Kan katanya memang ada urusannya waktu itu." Aku masih berusaha positif thinking.

***




No comments:

Post a Comment