Episode 2 “Putus 101”
Won Yeong : Cinta adalah keajaiban, seperti hanya
ada satu orang di alam semesta ini.
Woo Ri :Tapi bahkan setelah keajaiban seperti
itu, kita tergoda. Dan menyadari pada akhirnya.
Won Yeong : Saat berdua, seperti mengisi seluruh
alam semesta.
Woo Ri
: Tapi kemudian hilang begitu cepat, dan membenci satu sama lain.
Di kos Kot Dong.
“Argh, Woo Ri, kau melakukanya sengaja kan?”
pekik Won Yeong tergeletak di lantai. “Aku sudah bilang berkali-kali, jangan
tinggalkan makanan anjing di sekitar sini!” omel Won Yeong menahan sakit di
pinggangnya.
Woo Ri menghampiri Won Yeong dengan santai. Dia
membalas omelan Won Yeong dengan mengatakan bahwa Won Yeong yang tidak
hati-hati kenapa harus dia yang disalahkan. Woo Ri marah karena Won Yeong hanya
memanggil namanya saja, padahal dia 3 tahun lebih tua darinya. Dia menyuruh Won
Yeong jangan pernah memanggil namanya lagi.
“Oh, belakangku sakit,” keluh Won Yeong memegangi
belakangnya.
“Oh, benarkah? Apa kau merasa seperti ingin
pindah sekarang?”
“Mengapa harus aku?” bentak Won Yeong. Lalu dia
berusaha berdiri, namun tidak bisa kerena pinggangnya terasa sakit. Woo Ri
malah menambahi rasa sakit Won Yeong dengan menendang-nendangnya. Itu dilakukan
supaya dia pindah.
Dua teman se-band Won Yeong dan Kot Dong yang
dari tadi melihat perkelahian mereka meringis melihat Won Yeong ditendangi. Kot
Dong malah ditutupi matanya oleh mereka. Seolah dia anak kecil yang tidak boleh
melihat kekerasan.
Untuk membalas kelakuan Woo Ri pada Won Yeong, dua teman Won Yeong sengaja membuat keributan di
depan kamar Woo Ri. Mereka memainkan music dengan ribut.
Sementara itu, Woo Ri sedang melihat pengumuman
Enderle Young, dan dia gagal. Woo Ri tidak tahu harus merasa sedih atau kesal.
Orang-orang di luar sangat berisik dan mengganggu.
Lalu ada pesan masuk ke ponselnya, pesan tagihan
yang menunggak. Bukan hanya satu, namun lumayan banyak, tunggakan ini dan itu.
“Aku tak sanggup!” kesal Woo Ri yang kemudian
menghampiri dua teman Won Yeong yang membuat keributan di depan kamarnya.
“DIAAM!” bentaknya. “Kalian berdua ingin
mengakhiri hidup kalian hari ini?” tanya Woo Ri. Kemudian dia menyetrum si
drummer menggunakan raket nyamuk.
“Kau sendiri yang bilang kami band yang bagus,”
ujar Won Yeong keluar dari kamar mandi.
Woo Ri menoleh, lalu segera menutup matanya
dengan kedua tangannya karena Won Yeong bertelanjang dada, dan hanya mengenakan
sebuah handuk.
“Apa itu reaksi yang kau inginkan?” tanya Woo Ri
menatap Won Yeong dengan tajam. Dia mengatakan Won Yeong punya begitu banyak
kepercayaan. Namun ia tidak mengerti bagian mananya.
“Apa? Begitu banyak?” tanya Won Yeong yang merasa
disindir.
“Lalu kenapa kau tidak tunjukkan ‘itu’?” Woo Ri
berusaha menarik handuk Won Yeong untuk melepasnya. Namun, Won Yeong
menahannya. *Hihihi...Woo Ri malah mau melihat semua
“Oke, itu saja. Percobaan yang bagus tapi
berhenti main-main. Ini bukan studiomu. Aku tidak punya ruang untuk pecundang
sepertimu,” omel Woo Ri.
“Apa? Pecundang?”
“STOP! Berhenti di sana!” teriak Bae Jeong Nam,
penghuni kamar kos lain. “Kalian berdua benar-benar kelewatan. Aku sudah
berusaha menjadi sangat toleran untuk diri sendiri. Tapi kalian benar-benar
lupa ini adalah rumah kos? Beli apartemen sendiri jika kalian tidak ingin
mengikuti aturan. Aku juga punya kehidupan di sini.”
“Pak, mari aku jelaskan semuanya,” kata si
drummer yang kejang-kejang karena efek kesetrum. Jeong Nam saja sampai heran melihatnya.
Kemudian, beberapa orang dari kamar kos atas
turun dan mengajak Jeong Nam untuk kembali ke kamarnya saja.
Sebelum pergi, Jeon Nam menyampaikan agar mereka
lebih baik berhenti membuat keributan sebelum dia menelopon polisi.
Won Yeong dan Woo Ri mengangguk mengerti.
“Aku mengerti situasi kalian,” kata si drummer
setelah semua orang-orang dari kos atas kembali ke atas. “tapi jika kalian
terus begini, maka kalian harus berada di luar.”
Woo Ri mengatakan dia tidak salah. Tapi, Won
Yeong malah mengatakan seharusnya siapa yang bilang begitu.
Si drummer jadi pusing. Kemudian dia berkata
mereka hanya punya satu cara. Dia berkata pada Woo Ri bahwa jangan percaya
pria. Mereka perlu kesepakatan jika dia ingin.
“Argh!” teriak si drummer karena tiba-tiba
temannya menyetrumnya dengan raket nyamuk dari belakang.
Mereka akhirnya membuat aturan, diantaranya:
Menjaga kebersihan area umum, berpakaian di
wiliyah umum, menghormati privasi, jangan menyentuh makanan, tidak ada
kekerasan, tidak ada music di rumah.
Aturan yang terakhir dari Woo Ri membuat Won
Yeong tidak senang. Kemudian Won Yeong menambahkan lagi. “Tidak mengganggu
kencan satu sama lain.”
“Apa?”
“Sekarang kita sudah putus. Kita tidak punya hak
untuk mencampuri urusan masin-masing,” terang Won Yeong. “Kenapa? Ada masalah?
Ini baik untuk kita berdua.”
“Aku pikir, kau masih belum mengerti. Aku tidak
punya persaan yang tersisa untukmu untuk keberatan hubungan percintaanmu. Aku
tidak tertarik kau berkencan atau menikah dengan seseorang. Tapi aku setuju
denganmu dalam aturan ini. Setuju! Benar-benar setuju!”
Jika ada yang melanggar aturan ini, dia tidak
punya pilihan lain selain mengangkat kaki dari sini.
Akhirnya kesepakatan disetujui.
Won Yeong pergi ke studio tempatnya berlatih,
namun di depan studio tertulis “Terlambat bayar sewa 6 bulan. Band ‘Aku Tidak
Tahu’ tidak diperbolehkan untuk menggunakan studio”.
Untuk mendapatkan uang, Won Yeong menelpon ibunya
dengan tujuan untuk meminjam uang. Ibunya mengatakan, tentu saja dia punya uang
jika menjual ayam dan babi yang baru lahir dari pertanian dan juga Ba-duk (nama
anjing mereka). Jika tidak cukup, ibunya bisa mencari pekerjaan sampingan di
pasar juga.
Won Yeong tidak jadi meminjam uang karena ibunya
terdengar menyindirnya.
Setelah dia mematikan panggilan, tak sengaja dia
melihat mini market yang di jendelanya tertempel kertas yang bertuliskan
“Pekerjaan Paruh Waktu”. Dia pun masuk ke dalam mini market.
Saat dia masuk, dia dikagetkan dengan kemunculan
seorang pekerja yang tiba-tiba. Dia bertanya pada Won Yeong apakah dia ke sini
untuk pekerjaan paruh waktu.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Won Yeong heran.
“Seperti yang dilakukan pekerja paruh waktu, kau
tahu apa yang harus dilakukan. Aku akan memberitahu pemilik toko,” ucap penjaga
toko itu seraya melepaskan rompi kerja yang ia kenakan lalu ia berikan pada Won
Yeong. Dia menyerahkan semuanya pada Won Yeong, kemudian pergi. Won Yeong jadi
bingung dengan sikap orang itu, tapi ini kesempatannya untuk mendapat pekerjaan.
Beberapa saat kemudian dia mengepel,
mengecek dan menyusun barang-barang di mini
market,
menjadi kasir yang ramah untuk pelanggan, serta
menangani pengunjung yang mabuk. Semuanya ia lakukan hingga malam, sehingga ia
merasa lelah.
Saat pria mabuk itu tertidur, dan tak ada pengunjung lain yang datang, dia meluangkan waktu dengan melihat foto-foto kebersamaannya dengan Woo
Ri.
Tak lama kemudian seorang pengunjung perempuan
yang berpakaian rok sangat mini masuk. Dia marah-marah dengan seseorang yang ia
telpon.
Won Yeong hanya memperhatikannya. Entah Won Yeong
tahu atau tidak (sepertinya tidak), pengunjung itu adalah perempuan yang ia
temui di depan toko alat music, Ni Na.
Saat Ni Na menoleh ke arah Won Yeong, dengan
cepat Won Yeong memalingkan wajahnya.
Setelah mengambil sebotol minuman, Ni Na
menghampiri Won Yeong di kasir. Dia bertanya berapa harganya, lalu Won Yeong
memberitahu. Ni Na memberikan kartu kreditnya.
Setelah menggesek kartu kredit Ni Na, Won Yeong
menghampiri pria yang mabuk tadi sambil mengomel karena sepertinya pria mabuk
itu hendak muntah. Tidak mungkin Won Yeong membiarkan pria itu muntah
sembarangan.
Setelah menangani pria mabuk itu, Won Yeong
kembali ke kasir, dan mengambil ponselnya. Namun, ternyata ponselnya tertukar
dengan ponsel Ni Na.
Sementara itu, Woo Ri sedang latihan meninju di
depan kertas bertuliskan peraturan yang ia buat dengan Won Yeong. Dia nampak
kesal. Dia mengomel-ngomel, pasti Won Yeong sudah punya pacar. Dia lalu meminta
pendapat Kot Dong apa semua pria seperti itu. Kemudian dia berbaring di samping
Kot Dong, dan memeluknya. Dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk sadar.
Mereka sudah putus, jadi untuk apa dipikirkan. Nampaknya sekarang Woo Ri sedih.
Di pinggir jalan, Ni Na merentangkan tangan
kanannya untuk menghentikan kendaraan umum. Namun, tak ada satu kendaraan pun
yang berhenti. Ni Na yang sedang ada masalah di tempat kerjanya, sepertinya
sekarang dia lelah dan pasrah menanti kendaraan. Dia bahkan tak menyadai kalau
dia salah mengambil ponsel.
No comments:
Post a Comment