“Ngomong-ngomong,
kenapa kamu pindah jurusan?” tanya Rafael sambil menikmati baksonya.
“Jujur, aku gak tahu seni sedikit
pun,” jawab Annisa. “Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa masuk di seni?
Aku juga heran. Mungkin karena bejo. Hehe..”
Annisa tertawa kecil.
“Eh, foto yang tadi itu hasil jepretan kamu?” tanya
Annisa kemudian.
“Iya,” angguk Rafael.
“Hasilnya bagus. Kamu hobi foto ya?
Boleh aku lihat hasil jepretanmu yang lain?” tanya Annisa antusias.
“Boleh.” Rafael mengeluarkan kamera
digital dari tasnya, kemudian memberikannya pada Annisa.
“Selain hobi, fotografer juga
pekerjaanku,” papar Rafael.
“Jadi kamu udah kerja? Waktu aku
belum kuliah, aku juga pernah kerja, tapi cuma beberapa hari sih,” ujar Annisa
sambil memperhatikan foto-foto di dalam kamera.
“Kenapa gak kerja lagi?” tanya Rafael.
Seketika Annisa terdiam. Wajahnya
menjadi menegang.
“Hei, kamu gak apa-apa?” Rafael
mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka Annisa.
“Hah? Eh.. Enggak. Mmm..Udah ya, aku
ada urusan.” Annisa mengembalikan kamera Rafael, kemudian buru-buru pergi.
Annisa tidak mau mengenang kembali kejadian buruk itu.
Setelah keluar dari kantin, Annisa
berpapasan dengan Dicky.
“Eh, Dicky. Sekarang kamu lagi ada
kelas, gak?” tanya Annisa.
“Enggak. Kamu udah mau pulang ya?
Yuk!”
“Iya sih, tapi aku mau ke toko buku
dulu.”
“Ya udah, gak apa-apa, aku antar.
Yuk pergi.”
Saat Annisa mengingat kejadian buruk
tiga tahun yang lalu, dia pasti akan pergi ke toko buku untuk mencari bacaan
agar pikirannya teralih untuk tidak mengenang kejadian buruk itu.
--FLASHBACK ON—
Setelah lulus SMA, Annisa bekerja
sebagai penjaga kasir di sebuah mini market. Itu dilakukan karena dia ingin
membantu ibunya yang telah menjadi orang
tua tunggal sejak setahun lalu. Annisa bekerja dari
siang hingga malam. Walaupun hanya sebagai penjaga kasir, tapi gajinya lumayan.
Dia senang bekerja di sana, tapi hal yang membuatnya resah adalah tempat
kerjanya jauh dari rumahnya. Untuk memotong jalan agar lebih cepat tiba di
rumah, Annisa selalu melewati jalan di mana banyak berdiri tempat diskotik.
Malam itu, Annisa pulang dari kerja.
Seperti biasa, dia mengendarai mobilnya melewati tempat remang-remang itu.
Annisa selalu tegang bila telah berada di sana.
“Selama aku di mobil dan terus
melajukan mobil ini, maka tidak akan ada yang terjadi. Semua akan baik-baik
saja.” Annisa menyugesti dirinya sendiri untuk tidak khawatir.
Tiba-tiba mobil Annisa berhenti.
Dilihatnya penunjuk jarum bensi, masih penuh. Dengan memberanikan diri, Annisa
keluar dari mobil untuk mengecek mesinnya. Dibukanya kap mobil depan. Matanya
menerawang mesin-mesin mobil yang menurutnya rumit.
“Bodoh. Aku kan gak ngerti otomotif.
Ngapain juga aku buka. Hh,” rutuk Annisa menutup kap mobilnya.
Saat Annisa berbalik, ada lima orang
pria menghampirinya. Merasa tidak nyaman dengan penampilan pria-pria itu,
Annisa hendak masuk ke dalam mobil, tapi salah satu orang menahan pintu mobil.
“Eit,, cantik, jangan pergi dulu.
Kami belum pernah melihat gadis sepertimu di sini. Jadi, Kita senang-senang di
sini dulu.”
“Ka…kalian mau apa?” tanya Annisa
gugup.
“Kami mau tubuhmu,” jawab seorang
pria dengan tampang penuh nafsu.
Mata Annisa mendelik kaget.
“Ja…ja…jangan coba macam-macam atau aku akan teriak,” ancam Annisa dengan wajah
tegang dan tubuh bergetar.
“Teriak? Silakan!”
“Tolong…!!Tolong…!!” Annisa
berteriak sekencang-kencangnya. Berkali-kali dia berteriak minta tolong, tapi
tak seorang pun yang mau menolongnya.
“Percuma kamu teriak. Gak akan ada
yang mau nolong kamu. Jadi kita…” Tangan pria itu hendak memegang pundak
Annisa. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menepis tangan itu dan menghajarnya
dengan sekali tinju. Dan itu cukup untuk membuat mulut pria itu robek.
“MAU APA LO, HAH?! CARI CEWEK LAIN
NOH DI DALAM!” bentak Dicky penuh emosi.
Pria yang tersungkur karena terkena
tinju Dicky, berdiri dengan dibantu keempat temannya.
“Gue lepasin lo sekarang, tapi kalau
kita ketemu lagi, gue gak akan segan-segan untuk balas ini,” ancam pria itu sambil
memegang mulutnya yang berdarah.
Setelah pria-pria itu pergi, Dicky
membawa Annisa masuk ke dalam mobil Dicky yang tak jauh dari mobil Annisa.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Dicky.
Annisa menggeleng, tapi wajahnya
masih terlihat shock. “Terimakasih,
Dic. Aku gak tahu gimana aku kalau kamu gak datang. Tapi, kamu kok bisa di
sini?”
“Semenjak kamu bilang kalau kamu
selalu lewat tempat kayak gini, aku selalu ikutin kamu.”
Air mata Annisa meleleh.
“Terimakasih, Dicky. Dari kecil sampai sekarang kamu selalu jagain aku.”
“Bukan hanya sampai sekarang, tapi
sampai kamu menemukan orang yang bisa menjagamu selain aku.”
--FLASHBACK OFF—
No comments:
Post a Comment