Monday, July 18, 2016

[cerbung] Marmetu Manis part 18



            Hari ini Wenda pulang naik angkutan umum. Bisma tidak bisa mengantarnya karena ada olimpiade. Sebenarnya Bisma menyuruhnya untuk hadir melihatnya, tetapi rupanya hanya guru dan peserta yang boleh masuk ke lokasi.

            Wenda turun di pembelokan rumahnya, karena jalan di depan rumahnya bukanlah jalur angkutan umum. Di pertengahan jalan, tiba-tiba angin kencang datang. Buku gambar yang dia taruh di samping kakinya karena hendak mengikat tali sepatu terbuka lembar demi lembar. Tak lama, angin pun berhenti dan menghentikan terbukanya lembaran buku gambar itu, tepat di gambar sebuah bukit.

            Tiba-tiba klebatan-klebatan itu muncul lagi di kepalanya. Kali ini muncul bayangan baru. Beberapa kali Wenda mengalami ini. Dan setiap kelebatan itu muncul, kepalanya selalu sakit. Wenda menutup matanya sambil memegang kepalanya. Saat dia membuka mata, dilihatnya sepasang kaki seseorang. Orang itu mengenakan gaun panjang berwarna hitam.

            “Madam Ros?” pekik Wenda setelah mendongakkan kepala.

            Tanpa ekspresi, madam Ros mengulurkan tangannya.

edededede

            Di ruang guru, Bisma dan Dicky sedang menunggu pak Bahir. Kebetulan beliau yang akan mengantar mereka pergi olimpiade. Dengan hanya ada mereka berdua, atmosfer ruangan itu menjadi aneh. Dalam hati, mereka sama-sama ada sedikit rasa tidak suka.

            “Kamu duduk sebangku sama Wenda ya?” tanya Bisma memulai pembicaraan. Tak mau banyak basi-basi, dia langsung mengarahkan pembicaraan ke Wenda.

            “Iya.”

            “Jadi, sekarang kamu deket dong sama Wenda.”

      “Enggak juga.” Dicky mulai menyadari pembicaraan Bisma. “Kak Bisma pacarnya Wenda, kan?”

            “Iya. Wenda itu orang yang baik. Dia juga masih polos. Makanya, aku suka sama dia. Kalau kamu? Suka nggak jadi teman sebangkunya?”

            Dicky mengubah posisi duduknya menjadi menyilangkan kaki. “Iya, aku suka jadi teman duduknya. Dia termasuk pintar,  jadi bisa diajak diskusi.”

            “Memang. Kamu pernah lihat gambarannya? Dia suka gambar lho. Kadang dia gambar nggak kenal tempat dan waktu.”

            “Dihari pertamaku di sekolah ini, aku sudah lihat dia menggambar. Gambarannya bagus. Seperti profesional.”

            “Betulkan?”

            “Aku ke toilet dulu, ya.” Dicky merasa lebih baik dia pergi sebelum percakapannya dengan Bisma bukan lagi berupa ucapan, namun berupa pukulan.

edededede

            “Menurut kamu enak ya menjadi seperti manusia?” tanya Ham sinis saat Dicky keluar dari ruang guru.

            Dicky membalas tatapan sinis Ham tanpa menjawab apa-apa.

            “Asal kamu tahu, kami nggak akan membiarkanmu mendapatkan marmetu manis. Jadi, kalau kamu nggak mau berurusan dengan kami, kamu harus menyerah mulai dari sekarang!”

            “Oh, jadi kamu udah tahu si manusia spesial?” Dicky berdiri dari duduknya. “Kamu pikir aku bakal ngasih gitu aja tanaman itu ke kalian? Hh.. Mending kita duel.”

edededede

            Wenda mengajak madan Ros ke rumahnya. Kebetulan mamanya tidak sedang di rumah, jadi Wenda lebih leluasa untuk bertanya mengenai penglihatannya pada madam Ros.

            Dengan dua gelas minuman dingin, mereka mulai mengobrol.

            “Jadi kamu juga bisa melihat masa depan,” ujar madam Ros menyimpulkan setelah Wenda bercerita.

            “Aku?” tanya Wenda yang tak percaya. “Tapi aku punya penglihatan ini baru-baru ini.”

            “Penglihatanmu bukan penglihatan seperti yang aku miliki. Kemampuanmu itu khusus untuk kejadian munculnya marmetu manis. Oh iya, marmetu manis adalah...”

            “Aku tahu. Itu tanaman istimewa bagi vampir. Aku sudah tahu sedikit mengenai vampir.”

“Bagus. Jadi kita bisa lebih enak berbicara tentang vampir. Dalam buku nenek moyangku yang meneliti vampir, ada manusia spesial yang juga dapat melihat kejadian munculnya marmetu manis, tapi itu jarang.  Dan yang kamu lihat, itu tidak kompleks.”

“Masih berupa puzzle?”

“Iya,” anggung madam Ros.

“Madam, beritahu aku susunan puzzle itu.”

“Kalau aku memberitahukanmu tentang masa depan, itu artinya aku sudah menentang takdir. Terlebih ini menyangkut nyawa manusia.”

“Apa?! Jadi, kak Bisma...” Wenda tak sanggup melanjutkan ucapannya.

“Aku cuma bisa bilang kalau kamu harus berhati-hati... tidak ... kamu harus menghindari vampir-vampir ini. Ham, Mulda, Rangga, dan Dicky.”

“Dicky?! Dicky teman sekelasku? Dia vampir?”

“Iya, dia. Sebenarnya selama ini aku diam-diam mengikutimu. Aku ingin melihat vampir-vampir yang ada di sekitarmu. Ternyata tidak hanya satu dua vampir saja.”

Wenda terdiam sejenak. “Terus, kalau aku menghindari mereka, apa kak Bisma akan selamat?”

“Aku nggak bisa bilang, karena walaupun aku bisa melihat masa depan, tetapi apa yang terjadi tetaplah kehendak Sang Maha Pencipta. Lagi pula....”

“Lagi pula apa, madam?”

“Mungkin saja Bisma selamat, tapi orang lain yang menjadi korbannya.”

edededede

            “Lho, mana Dicky?”

            “Tadi sih bilangnya mau ke toilet, tapi sampai sekarang belum juga kembali,” jawab Bisma menjelaskan.

            “Kemana itu anak? Kita harus cepat berangkat. Olimpiade udah mau dimulai,” ucap pak Bahir resah.

            Rupanya Dicky ada di belakang sekolah. Dia berduel dengan Ham, Mulda, dan Rangga. Dilihat dari jumlah, memang tidak seimbang, tapi menurut Dicky sudah seimbang, karena dia masih memiliki kekuatan marmetu manis.

            Ham menyerang terlebih dahulu. Tanpa ragu ataupun takut, Dicky menangkis serangan Ham. Mulda juga ikut menyerang bersamaan dengan Rangga. Beberapa serangan dari mereka mampu Dicky atasi. Dicky juga beberapa kali balas menyerang. Dengan kekuatan mereka yang sepertinya seimbang, tak ada dari mereka yang roboh ataupun terluka terkena serangan. Namun, sayang, keseimbangan kekuatan mereka hanya bertahan setengah jam. Dicky, yang entah mengapa, energinya berkurang.

            “Sial! kenapa aku lelah? Dan juga panas matahari ini serasa terbakar. Apa jangan-jangan kekuatan marmetu manis sudah mulai memudar?” batin Dicky. Dia berhenti menyerang. Dadanya naik turun. Ham, Mulda, dan Rangga merasakan energi Dicky sudah menurun. Mereka tersenyum meremehkan.

            “Sepertinya, kamu udah nggak mampu menyerang kami. Mau menyerah, atau  kita lanjutkan pertarungan ini?”

            “Nggak mungkin aku menyerah. Tapi, panas ini... Aku sungguh nggak tahan.”

Dicky tidak mau menyerah, namun dia tidak sanggup lagi melanjutkan pertarungan. Akhirnya, Dicky memutuskan untuk melarikan diri. Walaupun dia tahu ini adalah tindakan yang paling pengecut, tetapi hanya ini yang dapat dia lakukan.

“Wah, dia kabur!” teriak Mulda.

“Kita kejar?”

“Enggak perlu. Kita urus yang di sini dulu.”

--------------


*Bersambung*

No comments:

Post a Comment