Monday, July 4, 2016

[Cerbung] Marmetu Manis part 14



            Tok! Tok! Tok!

            “Wenda, buka dulu pintunya, nak. Mungkin pengantar belanjaan mama. Ambil uang di dompet mama,” suruh mama Wenda yang menata bolu-bolu ke dalam wadah untuk dijual.

            “Iya, ma,” jawab Wenda menghentikan aktivitasnya yang juga menata bolu-bolu ke dalam wadah. Kemudian dia ke depan untuk membuka pintu setelah mengambil beberapa upah untuk membayar jasa pengantar. Mamanya memang sering melakukan jasa layanan untuk membawa belanjaan bahan-bahan kuenya yang lumayan banyak.


            Ceklek!

         “Mengantar pesanan,” ujar pengantar barang itu yang membuat Wenda mengernyitkan kening karena pengantar barangnya berbeda.

            “Ham?!” ucap Wenda heran.

            “Ham?” tanya pengantar barang itu yang tak mengerti. Dia bukan Ham, melainkan Reza.

            Melihat ekspresi pemuda itu yang nampak bingung, Wenda akhirnya menyadari sesuatu. Pemuda dihadapannya ini mungkin orang yang diceritakan Ara.

            “Oh, maaf. Aku pikir kamu temanku. Masuk, masuk. Taruh di dalam.”

            Reza pun masuk sambil membawa barang antarannya.

            “Taruh di sini saja,” suruh Wenda. Setelah itu dia memberikan upah kepada Reza.

            “Terimakasih,” ucap Reza.

            Tiba-tiba hujan turun saat dia keluar dari rumah. Reza terdiam di depan pintu. Dia jadi teringat saat Ara meminjamkannya payung waktu itu.

            “Hujan ya?” tegur Wenda keluar rumah. “Kamu bawa mantel?”

            “Seharusnya aku bawa terus, karena langit malam nggak kelihatan mendung kalau kita nggak memperhatikannya,” jawabnya yang seperti berbicara sendiri.

“Kalau gitu masuk dulu yuk. Tunggu sampai hujannya berhenti.”

            “Hah? Em,.. Enggak perlu. Aku kembali sekarang saja,” tolak Reza dengan sopan.

            “Hujannya deres lho. Ini udah malam. Kalau kamu sakit gimana? Ayo, masuk aja,” ajak Wenda ramah.

            Reza pun masuk ke dalam. Setelah menyuruh Reza untuk duduk, Wenda pergi ke dapur. Beberapa saat kemudian, dia datang lagi.

            “Sebentar ya. Mamaku lagi buatin teh,” ujar Wenda yang langsung duduk di kursi.

            “Enggak perlu repot-repot,” ucap Reza sungkan.

            “Santai aja… Oh iya, kamu ini pengantar baru ya?”

            “Aku cuma gantiin teman kerjaku yang lagi sakit,” jawabnya.

            “Oh, Rudi lagi sakit ya? Salam buat dia ya. Semoga cepet sembuh.”

Reza mengangguk pasti.

            “Boleh aku bertanya lagi?” pinta Wenda.

            “Apa?”

            “Apa kamu kenal Ara yang tinggal di apartemen Kamboja dengan nomor kamar 018?”

            “Cahyaning Rahayu? Iya, aku kenal dia. Kami bersebelahan,” jawab Reza.

           “Wah, kamu sampai tahu nama lengkapnya. Hmm… Tapi yang sebenarnya mau aku tanyakan itu…. Kenapa kamu nyuruh Ara gantungin bawang putih di pintu dan jendela?” tanya Wenda seperti menginterogasi.

            Reza mengalihkan pandangannya begitu Wenda menanyakan tentang itu. Dia ingin menghindari pertanyaan Wenda itu. Dan dia mendapat alasan saat melihat ke deretan foto yang terpajang didinding.

            “Orang di foto itu…” tunjuk Reza pada sebuah foto di ujung kiri yang hitam putih. “Kenapa foto itu ada di sini?” tanya Reza. Dia malah bertanya sebelum menjawab pertanyaan Wenda.

            “Apanya yang kenapa? Memang nggak boleh majang foto kakek moyang?”

            “Bukan begi.. Apa?! Kakek moyang?!” pekik Reza.

            “Kenapa? Kayaknya kamu kaget banget.”

            “Enggak. Kenapa cuma foto itu yang merupakan sketsa?”

            “Itu karena kakek Kirman punya penyakit langka.”

         Tepat saat itu, mama Wenda keluar membawa nampan dengan dua gelas teh di atasnya.

            “A.. Supaya lebih jelas, biar mamaku aja yang cerita.”

            “Cerita apa?” tanya mama Wenda bingung. Sekarang dia duduk di samping Wenda setelah menaruh gelas berisi teh di meja.

            “Tentang kakek Kirman, ma,” ucap Wenda.

         “Oo… Ayahnya Wenda adalah keturuan beliau yang ke tiga. Kakek Kirman membangun rumah ini untuk keluarganya. Dia sangat suka rumah ini. Dia pengen banget foto di depan rumah ini, tapi sayangnya dia nggak bisa kena sinar matahari. ”

            “1915 itu tahun apa?” tanya Reza membaca angka yang tertulis di bingkai foto.

            “Itu tahun foto diambil. Sebenarnya ada apa?” jawab Wenda.

            “Hmm…” Baru saja Reza mau menjelaskan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Rupanya bos-nya memanggilnya.

            “Iya, bos? Iya, iya, ini juga mau kembali.” Kemudian Reza pamit untuk kembali ke toko.

            “Tapi, ini masih hujan, nak,” ujar mama Wenda.

            “Tapi bos saya sudah nyuruh saya kembali. Terimakasih, bu untuk tehnya.” Reza pun keluar rumah dengan mama Wenda yang mengantarnya hingga keluar.

            Hujan masih deras. Reza sedikit ragu untuk kembali, tapi bosnya sudah memanggil.

            “Pakai ini.”  Wenda menyodorkan jas hujan berwarna kuning kepada Reza.

            “Terimakasih,” ucap Reza mengambil jas hujan itu. Sebenarnya dia tidak membuat repot, tapi mau bagaimana lagi. Dari pada dia kebasahan.

“Besok saya kembalikan,” ucap Reza lagi.

edededede

            Pukul 14.53

            Wenda satu-satunya murid yang tersisa di sekolah itu. Semua murid sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Sebenarnya, Bisma sudah mengajaknya pulang, tapi Wenda menyuruhnya untuk pulang duluan.

Dia berjalan di koridor sekolah sendirian dengan terseok. Kepalanya masih sedikit pusing. Beberapa kali dia memijat-mijat kepalanya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang buku gambar.

            “Apa yang aku lihat barusan?” batinnya. Dia menghentikan langkahnya karena tiba-tiba kelebatan-kelebatan bayangan muncul lagi di kepalanya dengan begitu cepat. Dia sedikit oleng karena merasa pusing. Disandarkan tubuh kirinya di dinding. Dia mencoba menopang tubuhnya yang sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Dan, akhirnya semuanya menjadi gelap.

            Bukk!!

edededede

--------------


*Bersambung*

No comments:

Post a Comment