Tuesday, August 21, 2018

[Cerbung] Kita Berbeda part 7


            “Dicky, nanti kak Ria jemput aku. Jadi kalau kamu mau pulang duluan, pulang aja,” ucap Annisa saat mereka telah tiba di kampus.

            “Ooh, ok.”


            “Nisa!! Annisa!” teriak Rosa sambil melambaikan tangan.

         “Orangnya udah datang, Nis. Ayo, cepet gue tunjukin,” ucap Rosa dengan semangat. Dia bahkan sampai menarik tangan Annisa dan membawanya pergi.

            “Dic, aku duluan!” pamit Annisa pada Dicky.

            Dicky tersenyum geli melihat tingkah temannya Annisa itu.

            Rosa membawa Annisa ke taman kampus. Mereka ngumpet dibalik tanaman yang tingginya sedada.

            “Itu orangnya… Lihat, gak? Yang lagi baca buku tuh,” tunjuk Annisa.

            Annisa menyipitkan matanya untuk mempertajam pandangannya.

            “Namanya Ilham,” ujar Rosa tanpa diminta.

            “Lo suka beneran atau sekedar naksir?” tanya Annisa memastikan.

        “Ya suka beneran lah. Sebelumnya gue gak pernah kayak gini. Hati berdebar-debar.” Rosa memegang dadanya. “Menurut gue, dia orangnya baik kok.”

            “Menurut gue juga gitu.  Dia sempat di pesantren waktu SMA.”

            “Lo kenal?” pekik Rosa.

          “Gak kenal banget sih. Tapi gue tahu siapa dia. Dicky pernah kenalin gue sama dia. Dia itu kenalannya Dicky. Mungkin teman SMP-nya,” terang Annisa.

            “Kok lo gak bilang-bilang sih. Kalau gitu, kenalin gue sama dia.”

            “Siapa? Dicky?”

            “Ya Ilham dong. Lo suruh Dicky minta ketemukan gue sama Ilham.”

            “Kok gue sih? Lo kan temen sekelasnya, ya lo sendiri sana minta kenalan.”

            “Aduh, Nisa. Susah mau kenalan sama cowok pendiam kayak dia. Kalau lewat perantara kan bisa lebih mudah, terlebih Dicky sama Ilham kan temenan. Pliss, Nis, tolong,” pinta Rosa dengan wajah memohon.

            “Ya udah deh, gue usahain. Eh, udah dulu ya, gue ada kelas sekarang.”

            “Ya udah, bye. Thanks ya.”

* * *

            Bisma masuk ke dalam kelasnya, kelas yang sudah lama tidak dia singgahi beberapa hari kemarin. Bisma duduk di bangku paling belakang di mana dia bisa tidur tanpa perlu takut dimarahi dosen.

            Saat Bisma hendak memejamkan mata, tiba-tiba dia terbelalak melihat Annisa yang masuk bersamaan dengan dosen. Niatnya hendak tidur selama pelajaran berlangsung, malah sekarang mata Bisma tak berkedip melihat Annisa. Mungkin lebih tepatnya punggung Annisa, karena sekarang Annisa sudah duduk membelakanginya.

            Usai mata kuliah, Bisma mengikuti Annisa. Dia ingin menyapa Annisa, tapi Rafael selalu di sampingnya. Dia ingin berbicara pribadi dengan Annisa.

        Akhirnya, Annisa sendiri di depan kampus. Namun, seseorang datang menjemputnya saat Bisma hendak menghampiri. Terpaksa Bisma mengikuti laju mobil itu yang mengarah ke super market.

    Annisa bersama dengan kak Ria membeli beberapa bahan-bahan dapur. Bisma belum bisa mendekati Annisa. Kegiatan membuntutinya terhenti saat Bisma mendapat telepon dari temannya. Setelah menerima telepon itu, Bisma segera pergi.

* * *

            Rafael datang ke kantornya. Seperti biasa, dia datang untuk memberikan USB pada rekan kerjanya. Saat Rafael tiba, dia tidak bertemu dengan rekan kerja, jadi dia menaruh USB itu di meja saja. Dia kemudian pergi.

            Di depan ruang kerja, Rafael berpapasan dengan Roni, rekan kerjanya.

            “Ketemu juga. Dicariin dari tadi,” ucap Roni menepuk pundak Rafael.

            “USB-nya udah ku taruh di meja kok,” sahut Rafael.

            “Iya, biarin aja. Lo dicari bu’ bos tuh. Sana ke ruangannya.”

          Rafael pun pergi menemui bu’ bos di ruangannya. Rafael mengetuk pintu. Setelah bu’ bos mempersilahkan, Rafael masuk ke dalam.

            “Kamu Rafael Tan, kan?” tanya bu’ bos muda itu. Bos baru itu berpenampilan sangat elegan, tapi wajahnya terlihat angkuh.

            “Iya,” jawab Rafael sopan.

            “Kalau gitu duduk dulu.”

            Rafael duduk di kursi depan meja bu’ bos-nya itu.

         “Sudah tau siapa saya, kan? Karena kemarin kita belum ketemu, saya mau bilang jangan panggil saya bos. Panggil saya bu Gina. Saya sudah tau latar belakang semua karyawan di sini. Gimana mereka kerja selama papaku menjabat, saya tau semuanya. Saya juga tau kamu sudah lama bekerja di sini. Jadi, untuk kali ini saya minta keprofesionalitasmu. Saya gak bilang kamu gak professional ya. Kamu professional. Dan sekarang saya mau kamu lebih professional karena saya akan menugaskanmu untuk mengambil gambar tentang…” bu’ Gina berhenti sejenak.

            “Saya menugaskanmu mengambil gambar tentang… islam. Masih ingat kan kalau setiap akhir bulan majalah kita mengeluarkan tema islam?” lanjut bu’ Gina.

            “Iya, bu’ saya ingat.. Saya akan usahakan.”

       “Jangan bilang saya usahakan, tapi harus,” tandas bu’ Gina kemudian melanjutkan lagi kalimatnya.

“Sebenarnya saya mau ambil fotografer lain, tapi mereka sudah banyak pekerjaan. Dan hanya kamu fotografer yang punya sedikit pekerjaan di sini. Kamu tenang saja, kamu hanya mengambil gambar kok. Biar Roni yang menulis artikelnya. Oh iya, kalau panggil saya, jangan cuman bu’ saja, tapi panggil saya BU’ GINA.”

            “Baik, bu’… Gina.”
* * *

[Bersambung]

No comments:

Post a Comment