Tok! Tok! Tok!
“Wenda, buka dulu pintunya, nak. Mungkin
pengantar belanjaan mama. Ambil uang di dompet mama,” suruh mama Wenda yang
menata bolu-bolu ke dalam wadah untuk dijual.
“Iya, ma,” jawab Wenda menghentikan
aktivitasnya yang juga menata bolu-bolu ke dalam wadah. Kemudian dia ke depan
untuk membuka pintu setelah mengambil beberapa upah untuk membayar jasa pengantar.
Mamanya memang sering melakukan jasa layanan untuk membawa belanjaan
bahan-bahan kuenya yang lumayan banyak.
Ceklek!
“Mengantar
pesanan,” ujar pengantar barang itu yang membuat Wenda mengernyitkan kening
karena pengantar barangnya berbeda.
“Ham?!” ucap Wenda heran.
“Ham?” tanya pengantar barang itu
yang tak mengerti. Dia bukan Ham, melainkan Reza.
Melihat ekspresi pemuda itu yang
nampak bingung, Wenda akhirnya menyadari sesuatu. Pemuda dihadapannya ini
mungkin orang yang diceritakan Ara.
“Oh, maaf. Aku pikir kamu temanku.
Masuk, masuk. Taruh di dalam.”
Reza pun masuk sambil membawa barang
antarannya.
“Taruh di sini saja,” suruh Wenda.
Setelah itu dia memberikan upah kepada Reza.
“Terimakasih,” ucap Reza.
Tiba-tiba hujan turun saat dia keluar
dari rumah. Reza terdiam di depan pintu. Dia jadi teringat saat Ara
meminjamkannya payung waktu itu.
“Hujan ya?” tegur Wenda keluar
rumah. “Kamu bawa mantel?”
“Seharusnya aku bawa terus, karena
langit malam nggak kelihatan mendung kalau kita nggak memperhatikannya,”
jawabnya yang seperti berbicara sendiri.
“Kalau gitu masuk dulu yuk. Tunggu sampai
hujannya berhenti.”
“Hah? Em,.. Enggak perlu. Aku
kembali sekarang saja,” tolak Reza dengan sopan.
“Hujannya deres lho. Ini udah malam.
Kalau kamu sakit gimana? Ayo, masuk aja,” ajak Wenda ramah.
Reza pun masuk ke dalam. Setelah
menyuruh Reza untuk duduk, Wenda pergi ke dapur. Beberapa saat kemudian, dia
datang lagi.
“Sebentar ya. Mamaku lagi buatin
teh,” ujar Wenda yang langsung duduk di kursi.
“Enggak perlu repot-repot,” ucap
Reza sungkan.
“Santai aja… Oh iya, kamu ini
pengantar baru ya?”
“Aku cuma gantiin teman kerjaku yang
lagi sakit,” jawabnya.
“Oh, Rudi lagi sakit ya? Salam buat
dia ya. Semoga cepet sembuh.”
Reza mengangguk pasti.
“Boleh aku bertanya lagi?” pinta
Wenda.
“Apa?”
“Apa kamu kenal Ara yang tinggal di
apartemen Kamboja dengan nomor kamar 018?”
“Cahyaning Rahayu? Iya, aku kenal
dia. Kami bersebelahan,” jawab Reza.
“Wah, kamu sampai tahu nama
lengkapnya. Hmm… Tapi yang sebenarnya mau aku tanyakan itu…. Kenapa kamu nyuruh
Ara gantungin bawang putih di pintu dan jendela?” tanya Wenda seperti
menginterogasi.
Reza mengalihkan pandangannya begitu
Wenda menanyakan tentang itu. Dia ingin menghindari pertanyaan Wenda itu. Dan
dia mendapat alasan saat melihat ke deretan foto yang terpajang didinding.
“Orang di foto itu…” tunjuk Reza pada
sebuah foto di ujung kiri yang hitam putih. “Kenapa foto itu ada di sini?”
tanya Reza. Dia malah bertanya sebelum menjawab pertanyaan Wenda.
“Apanya yang kenapa? Memang nggak
boleh majang foto kakek moyang?”
“Bukan begi.. Apa?! Kakek moyang?!”
pekik Reza.
“Kenapa? Kayaknya kamu kaget
banget.”
“Enggak. Kenapa cuma foto itu yang merupakan
sketsa?”
“Itu karena kakek Kirman punya
penyakit langka.”
Tepat saat itu, mama Wenda keluar
membawa nampan dengan dua gelas teh di atasnya.
“A.. Supaya lebih jelas, biar mamaku
aja yang cerita.”
“Cerita apa?” tanya mama Wenda
bingung. Sekarang dia duduk di samping Wenda setelah menaruh gelas berisi teh
di meja.
“Tentang kakek Kirman, ma,” ucap
Wenda.
“Oo… Ayahnya Wenda adalah keturuan
beliau yang ke tiga. Kakek Kirman membangun rumah ini untuk keluarganya. Dia
sangat suka rumah ini. Dia pengen banget foto di depan rumah ini, tapi
sayangnya dia nggak bisa kena sinar matahari. ”
“1915 itu tahun apa?” tanya Reza
membaca angka yang tertulis di bingkai foto.
“Itu tahun foto diambil. Sebenarnya
ada apa?” jawab Wenda.
“Hmm…” Baru saja Reza mau
menjelaskan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Rupanya bos-nya memanggilnya.
“Iya, bos? Iya, iya, ini juga mau
kembali.” Kemudian Reza pamit untuk kembali ke toko.
“Tapi, ini masih hujan, nak,” ujar
mama Wenda.
“Tapi bos saya sudah nyuruh saya
kembali. Terimakasih, bu untuk tehnya.” Reza pun keluar rumah dengan mama Wenda
yang mengantarnya hingga keluar.
Hujan masih deras. Reza sedikit ragu
untuk kembali, tapi bosnya sudah memanggil.
“Pakai ini.” Wenda menyodorkan jas hujan berwarna kuning
kepada Reza.
“Terimakasih,” ucap Reza mengambil
jas hujan itu. Sebenarnya dia tidak membuat repot, tapi mau bagaimana lagi.
Dari pada dia kebasahan.
“Besok saya kembalikan,” ucap Reza lagi.
edededede
Pukul 14.53
Wenda satu-satunya murid yang
tersisa di sekolah itu. Semua murid sudah pulang sejak setengah jam yang lalu.
Sebenarnya, Bisma sudah mengajaknya pulang, tapi Wenda menyuruhnya untuk pulang
duluan.
Dia berjalan di koridor sekolah sendirian
dengan terseok. Kepalanya masih sedikit pusing. Beberapa kali dia memijat-mijat
kepalanya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang buku gambar.
“Apa yang aku lihat barusan?”
batinnya. Dia menghentikan langkahnya karena tiba-tiba kelebatan-kelebatan bayangan
muncul lagi di kepalanya dengan begitu cepat. Dia sedikit oleng karena merasa
pusing. Disandarkan tubuh kirinya di dinding. Dia mencoba menopang tubuhnya
yang sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Dan, akhirnya semuanya menjadi gelap.
Bukk!!
edededede
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment