Hari ini
Wenda pulang naik angkutan umum. Bisma tidak bisa mengantarnya karena ada
olimpiade. Sebenarnya Bisma menyuruhnya untuk hadir melihatnya, tetapi rupanya
hanya guru dan peserta yang boleh masuk ke lokasi.
Wenda
turun di pembelokan rumahnya, karena jalan di depan rumahnya bukanlah jalur
angkutan umum. Di pertengahan jalan, tiba-tiba angin kencang datang. Buku
gambar yang dia taruh di samping kakinya karena hendak mengikat tali sepatu
terbuka lembar demi lembar. Tak lama, angin pun berhenti dan menghentikan
terbukanya lembaran buku gambar itu, tepat di gambar sebuah bukit.
Tiba-tiba
klebatan-klebatan itu muncul lagi di kepalanya. Kali ini muncul bayangan baru.
Beberapa kali Wenda mengalami ini. Dan setiap kelebatan itu muncul, kepalanya
selalu sakit. Wenda menutup matanya sambil memegang kepalanya. Saat dia membuka
mata, dilihatnya sepasang kaki seseorang. Orang itu mengenakan gaun panjang
berwarna hitam.
“Madam
Ros?” pekik Wenda setelah mendongakkan kepala.
Tanpa
ekspresi, madam Ros mengulurkan tangannya.
edededede
Di ruang
guru, Bisma dan Dicky sedang menunggu pak Bahir. Kebetulan beliau yang akan
mengantar mereka pergi olimpiade. Dengan hanya ada mereka berdua, atmosfer
ruangan itu menjadi aneh. Dalam hati, mereka sama-sama ada sedikit rasa tidak
suka.
“Kamu
duduk sebangku sama Wenda ya?” tanya Bisma memulai pembicaraan. Tak mau banyak
basi-basi, dia langsung mengarahkan pembicaraan ke Wenda.
“Iya.”
“Jadi,
sekarang kamu deket dong sama Wenda.”
“Enggak
juga.” Dicky mulai menyadari pembicaraan Bisma. “Kak Bisma pacarnya Wenda,
kan?”
“Iya. Wenda
itu orang yang baik. Dia juga masih polos. Makanya, aku suka sama dia. Kalau
kamu? Suka nggak jadi teman sebangkunya?”
Dicky
mengubah posisi duduknya menjadi menyilangkan kaki. “Iya, aku suka jadi teman
duduknya. Dia termasuk pintar, jadi bisa
diajak diskusi.”
“Memang.
Kamu pernah lihat gambarannya? Dia suka gambar lho. Kadang dia gambar nggak
kenal tempat dan waktu.”
“Dihari
pertamaku di sekolah ini, aku sudah lihat dia menggambar. Gambarannya bagus.
Seperti profesional.”
“Betulkan?”
“Aku ke
toilet dulu, ya.” Dicky merasa lebih baik dia pergi sebelum percakapannya
dengan Bisma bukan lagi berupa ucapan, namun berupa pukulan.
edededede
“Menurut
kamu enak ya menjadi seperti manusia?” tanya Ham sinis saat Dicky keluar dari
ruang guru.
Dicky
membalas tatapan sinis Ham tanpa menjawab apa-apa.
“Asal
kamu tahu, kami nggak akan membiarkanmu mendapatkan marmetu manis. Jadi, kalau
kamu nggak mau berurusan dengan kami, kamu harus menyerah mulai dari sekarang!”
“Oh,
jadi kamu udah tahu si manusia spesial?” Dicky berdiri dari duduknya. “Kamu
pikir aku bakal ngasih gitu aja tanaman itu ke kalian? Hh.. Mending kita duel.”
edededede
Wenda
mengajak madan Ros ke rumahnya. Kebetulan mamanya tidak sedang di rumah, jadi
Wenda lebih leluasa untuk bertanya mengenai penglihatannya pada madam Ros.
Dengan
dua gelas minuman dingin, mereka mulai mengobrol.
“Jadi
kamu juga bisa melihat masa depan,” ujar madam Ros menyimpulkan setelah Wenda
bercerita.
“Aku?”
tanya Wenda yang tak percaya. “Tapi aku punya penglihatan ini baru-baru ini.”
“Penglihatanmu
bukan penglihatan seperti yang aku miliki. Kemampuanmu itu khusus untuk
kejadian munculnya marmetu manis. Oh iya, marmetu manis adalah...”
“Aku
tahu. Itu tanaman istimewa bagi vampir. Aku sudah tahu sedikit mengenai
vampir.”
“Bagus. Jadi kita bisa
lebih enak berbicara tentang vampir. Dalam buku nenek moyangku yang meneliti
vampir, ada manusia spesial yang juga dapat melihat kejadian munculnya marmetu
manis, tapi itu jarang. Dan yang kamu
lihat, itu tidak kompleks.”
“Masih berupa puzzle?”
“Iya,” anggung madam Ros.
“Madam, beritahu aku
susunan puzzle itu.”
“Kalau aku
memberitahukanmu tentang masa depan, itu artinya aku sudah menentang takdir.
Terlebih ini menyangkut nyawa manusia.”
“Apa?! Jadi, kak
Bisma...” Wenda tak sanggup melanjutkan ucapannya.
“Aku cuma bisa bilang
kalau kamu harus berhati-hati... tidak ... kamu harus menghindari vampir-vampir
ini. Ham, Mulda, Rangga, dan Dicky.”
“Dicky?! Dicky teman
sekelasku? Dia vampir?”
“Iya, dia. Sebenarnya
selama ini aku diam-diam mengikutimu. Aku ingin melihat vampir-vampir yang ada
di sekitarmu. Ternyata tidak hanya satu dua vampir saja.”
Wenda terdiam sejenak.
“Terus, kalau aku menghindari mereka, apa kak Bisma akan selamat?”
“Aku nggak bisa bilang,
karena walaupun aku bisa melihat masa depan, tetapi apa yang terjadi tetaplah
kehendak Sang Maha Pencipta. Lagi pula....”
“Lagi pula apa, madam?”
“Mungkin saja Bisma
selamat, tapi orang lain yang menjadi korbannya.”
edededede
“Lho,
mana Dicky?”
“Tadi
sih bilangnya mau ke toilet, tapi sampai sekarang belum juga kembali,” jawab
Bisma menjelaskan.
“Kemana
itu anak? Kita harus cepat berangkat. Olimpiade udah mau dimulai,” ucap pak
Bahir resah.
Rupanya
Dicky ada di belakang sekolah. Dia berduel dengan Ham, Mulda, dan Rangga.
Dilihat dari jumlah, memang tidak seimbang, tapi menurut Dicky sudah seimbang,
karena dia masih memiliki kekuatan marmetu manis.
Ham
menyerang terlebih dahulu. Tanpa ragu ataupun takut, Dicky menangkis serangan
Ham. Mulda juga ikut menyerang bersamaan dengan Rangga. Beberapa serangan dari
mereka mampu Dicky atasi. Dicky juga beberapa kali balas menyerang. Dengan
kekuatan mereka yang sepertinya seimbang, tak ada dari mereka yang roboh
ataupun terluka terkena serangan. Namun, sayang, keseimbangan kekuatan mereka
hanya bertahan setengah jam. Dicky, yang entah mengapa, energinya berkurang.
“Sial! kenapa aku lelah? Dan juga panas
matahari ini serasa terbakar. Apa jangan-jangan kekuatan marmetu manis sudah
mulai memudar?” batin Dicky. Dia berhenti menyerang. Dadanya naik turun.
Ham, Mulda, dan Rangga merasakan energi Dicky sudah menurun. Mereka tersenyum
meremehkan.
“Sepertinya,
kamu udah nggak mampu menyerang kami. Mau menyerah, atau kita lanjutkan pertarungan ini?”
“Nggak mungkin aku menyerah. Tapi, panas
ini... Aku sungguh nggak tahan.”
Dicky tidak mau menyerah,
namun dia tidak sanggup lagi melanjutkan pertarungan. Akhirnya, Dicky
memutuskan untuk melarikan diri. Walaupun dia tahu ini adalah tindakan yang paling
pengecut, tetapi hanya ini yang dapat dia lakukan.
“Wah, dia kabur!” teriak
Mulda.
“Kita kejar?”
“Enggak perlu. Kita urus
yang di sini dulu.”
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment