Diam-diam, Ham, Mulda, dan Rangga
mengawasi Wenda.
“Bagaimana ini? Wenda pingsan,” ucap
Rangga saat tiba-tiba Wenda terjatuh.
Mulda hendak menghampiri Wenda,
namun Ham mencegahnya karena ada seseorang yang menghampiri Wenda yang sudah
tergeletak tak sadarkan diri itu. Mereka mempertajam pandangan matanya untuk
melihat orang itu yang kini menggotong Wenda.
“Bukannya itu Dicky si vampire?
Kenapa dia ada di sana?” heran Mulda.
“Sepertinya dia sudah tahu kalau
Wenda adalah manusia spesial,” jawab Ham.
“Apa?!” pekik Rangga dan Mulda.
“Aku sudah curiga waktu dia
menyelamatkan Wenda di perpustakaan tempo hari,” lanjut Ham.
“Jadi… Ah, kita kalah cepat,” gerutu
Mulda.
“Tenang saja. Kita bertiga,
sedangkan dia cuma sendiri,” ucap Ham menenangkan kecemasan anak buahnya.
Kemudian mereka pergi meninggalkan sekolah
untuk merancang sebuah rencana.
edededede
Dicky membawa Wenda ke UKS yang
kebetulan masih belum dikunci, namun tidak ada orang disana. Setelah merebahkan tubuh Wenda di kasur, dia
menyelimuti Wenda.
Tiba-tiba, terdengar suara berdering
dari tas Wenda. Cukup lama, dan Dicky membiarkannya. Setelah itu, suaranya
berhenti. Tak lama terdengar suara deringan lagi dari tas Wenda, namun hanya
sebentar. Tidak berniat lancang, namun siapa tahu itu penting, Dicky mengambil
ponsel dari tas Wenda. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Bisma, dan
sebuah sms (short massage) yang baru saja masuk, dari Bisma juga.
Kamu
dimana? Udah selesai urusan di
sekolah? Mau aku antar pulang? Aku bisa kok kembali ke sekolah sekarang juga.
Ada sedikit rasa sakit yang menusuk
hatinya saat membaca nama Bisma dan pesan singkatnya itu. Dicky cemburu. Tapi,
apa yang bisa ia perbuat? Wenda bukanlah Tini. Jadi, dia tetap
memberitahukan dimana Wenda berada. Tak lupa dia memberitahukan keadaan Wenda.
Bisma. Begitu membaca balasan sms
dari Wenda
(padahal yang mengetik dan mengirim sms adalah Dicky), dia segera menancap
gasnya kembali ke sekolah.
Saat Bisma tiba di UKS, Dicky sudah
tidak ada. Tinggal Wenda yang masih terbaring tak sadarkan diri. Bisma mendekat
dan memperhatikan wajah Wenda yang berkeringat. Alisnya juga saling bertautan,
seolah-olah dia sedang bermimpi buruk.
Tiba-tiba Bisma terlonjak saat Wenda
menggenggam tangannya. Dengan mata yang masih tertutup, genggaman Wenda semakin
erat. Kerutan-kerutan dikeningnya pun semakin bertambah.
Bisma tidak tahu harus berbuat apa.
Dia hendak mengelus kepala Wenda, namun wenda tiba-tiba membuka mata seraya
melepas genggamannya. Seperti seseorang yang baru saja mengalami mati suri,
Wenda tak berkedip menatap ke depan dengan mata
yang terbuka lebar dan napas yang memburu.
“Wenda?” lirih Bisma dengan suara
berat.
Mendengar suara seseorang, barulah
Wenda melirik ke arah asal suara. Wenda tak bertanya apa-apa, tapi tiba-tiba
matanya meneteskan air bening. Tangannya perlahan bergerak mengelus wajah
Bisma.
Bisma sedikit tersentak. Kemudian
dia menggenggam tangan Wenda yang mengelus pipinya dengan penuh perasaan.
“Ada apa? Apa kamu mimpi buruk?”
tanya Bisma dengan suara lirih.
Seolah tak mampu berbicara, Wenda
hanya mengangguk pelan dengan air mata yang semakin deras mengalir.
“Tenang!” Bisma menghapus air mata
Wenda dengan kedua tangannya. “Itu cuma mimpi buruk.” Kemudian dipeluknya gadis
yang sangat ia cintai itu.
edededede
Bisma mengantarkan Wenda pulang. Di
mobil, walaupun Wenda sudah tidak lagi menangis, tapi wajahnya masih terlihat
sendu. Tatapannya juga terlihat kosong.
“Wenda?” panggil Bisma dengan nada
bertanya seolah memastikan orang yang di sampingnya itu benar Wenda.
“Iya?” sahut Wenda menoleh, menatap
Bisma yang juga menatapnya.
“Jangan melamun,” tutur Bisma seraya
menatap jalanan kembali karena dia masih mengemudi.
Wenda hanya menunduk tanpa menjawab.
“Sebenarnya kamu mimpi apa?” tanya
Bisma yang sudah ingin bertanya tentang itu sedari tadi.
“Kenapa aku bisa ada di UKS?
Seingatku, aku nggak di sana tadi,” tanya Wenda seolah tak mau menjawab
pertanyaan Bisma.
“Aku nggak tahu. Aku tahu kamu udah
ada di UKS, itu pun dari....” Agak ragu untuk memberi tahu nama orang yang
memberitahunya. Namun, dia tetap menyebut namanya, “...Dicky.”
Bisma juga penasaran
dengan apa yang terjadi pada Wenda. Dan dia lebih penasaran lagi, kenapa Wenda
bersama Dicky? Awalnya, dia tidak mau memercayai ucapan Nindi, tapi kalau
seperti ini, hatinya mulai hancur.
“Dicky?”
tanya Wenda mencoba memastikan kalau dia tidak salah dengar.
“Iya.
Apa kamu ingat kenapa kamu pingsan?”
“Aku
cuma pusing.
Mungkin karena aku kurang tidur. Mungkin tadi itu aku bukan pingsan, tapi
tidur. Hehehe…” Wenda tertawa, namun terdengar dipaksakan.
“Kalau tentang mimpi buruk itu?
Dan kenapa kamu bareng Dicky?”
Lagi. Wenda tak langsung menjawab.
Bisma menoleh ke arah Wenda yang terfokus ke luar jendela yang ada di sampingnya seolah melihat
sesuatu. Bisma ingin melihat apa yang dilihat Wenda, namun dia sedang menyetir.
Tak lama dia mendengar Wenda menyuruhnya menghentikan mobilnya. Dia menurut dan
menghentikan mobilnya di tepi jalan.
Tanpa berkata apa-apa Wenda langsung
keluar dari mobil.
“Wenda!” panggil Bisma yang tak
dihiraukan oleh Wenda.
Dia pun keluar dari mobil dan mengejar Wenda.
Hap!
Bisma berhasil meraih tangan Wenda.
Wenda berbalik dengan ekspresi tak senang.
Bisma melepas cengkeramannya. Dia
merasa tidak enak dengan tatapan Wenda yang berbeda. “Sorry.
Tapi, kamu mau kemana?”
Ekspresi Wenda berubah menjadi
biasa. Dia sadar kalau dia keterlaluan berekspresi seperti itu pada seseorang
yang berstatus pacarnya yang sekarang hubungan itu tidak sedang bermasalah.
“Maafkan aku, kak. Aku pikir tadi
aku melihat orang yang aku kenal. Tapi ternyata aku salah,” ujar Wenda meminta
maaf. Tadi dia memang seperti melihat orang yang ia kenal, Madam Ros. Dia ingin
berbicara dengan madam Ros perihal bayangan-bayangan yang ia lihat barusan.
edededede
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment