Wednesday, June 29, 2016

[Cerbung] Marmetu Manis part 10



            Malam itu, Bisma berkunjung ke rumah Wenda. Dia memberikan Wenda kejutan dengan memberinya sebuah hadiah. Ketika Wenda membuka box yang Bisma berikan, dia terkejut dengan isi box itu.

            “Buku gambar?” heran Wenda melihat beberapa buku gambar di dalam box.

           “Aku mau minta maaf karena udah ngilangin buku gambar kamu tadi. Dan itu sebagai gantinya.”


            Wenda tertawa geli. Kemudian dia mengucapkan terimakasih pada Bisma.

            “Selain ini, aku juga punya yang lain yang mau aku tunjukkan,” ucap Bisma.

            “Apa?”

     “Ikut aku,” ajak Bisma seraya tersenyum. Dia menarik tangan Wenda kemudian membawanya pergi dengan mobilnya.

            Bisma membawa Wenda ke pameran lukisan. Dia tahu hobby Wenda, makanya dia pergi ke Galery Lukisan. Wenda senang melihat banyak lukisan-lukisan yang indah, terlebih dari pelukis terkenal.

            Tiba-tiba Wenda seperti melihat Dicky. Namun, hanya dari samping, dan itu sekejab.

            “Kak Bisma, aku ke toilet dulu ya,” ucap Wenda yang sebenarnya tak ingin ke toilet melainkan ingin mencari tahu apakah yang ia lihat benar Dicky atau bukan.

            “Oh! Iya. Aku tunggu di sini.”

            Wenda pergi mengikuti ke mana perginya seseorang yang ia anggap Dicky itu. Orang itu berjalan ke luar. Kemudian menghilang saat berbelok ke samping gedung.

            “Kemana dia?” pikir Wenda melihat sekeliling yang gelap. Kehilangan dia, Wenda memutuskan untuk kembali,

            “Aaa!” pekik Wenda tertahan.

            Tiba-tiba seseorang berada tepat di hadapannya.

         “Madam Ros?” tebak Wenda melihat orang yang berdiri dihadapannya berpenampilan seperti madam Ros.

           “Aku datang khusus ke sini untuk memperingatkanmu.”

            “Memperingatkan? Maksudnya?”

            “Sebenarnya, aku bukan orang yang mudah memberitahukan penglihatanku tanpa imbalan. Tapi, khusus untuk kamu, ini berbeda. Kamu harus berhati-hati dengan orang-orang yang tiba-tiba mendekatimu.”

            “Madam, aku bukan orang yang percaya hal-hal kayak gitu,” ucap Wenda jujur.

            “Tapi, kamu harus percaya. Ini demi keselamatanmu, dan orang-orang disekitarmu.”

            Wenda hendak berbicara, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Tertulis nama ‘kak Bisma’ saat Wenda melihat layar ponselnya. Dia pun segera mengangkat panggilan sambil berjalan masuk ke gedung, meninggalkan Madam Ros.

edededede

            Jam istirahat, Wenda berada di atap. Dia menolak ajakan Riri dan Ara untuk ke kantin karena dia sudah membawa bekal. Dengan bekal yang ia buat sendiri, Wenda duduk di gazebo atap gedung untuk menghindari teriknya matahari. Sesekali ia menggigit roti panggangnya, kemudian melanjutkan menggambarnya. Walaupun menggambar adalah hobinya, namun kali ini dia tak menggambar dengan bahagia. Tentu saja, itu karena dia tidak bisa jika tidak menggambar wajah Dicky. Wenda sudah menggambar berkali-kali, namun hasilnya tetap sama. Saking jengkelnya, dia sampai mencoret-coret hasil gambarnya sendiri.

            “Ada apa denganku?” rutuknya sendiri menutup buku gambar dengan kesal, kemudian melempar pensil keras-keras ke depan. Dia meremas kepalanya karena semakin frustasi. Dia bingung dengan apa yang terjadi padanya. Tidak mungkin dia tiba-tiba hanya bisa menggambar satu hal.

            Tak
  
          Wenda mengangkat sedikit kepalanya saat mendengar suara. Dia melihat seseorang menaruh pensil yang telah ia buang tadi di depannya.

            “Aku lihat pensil ini terlempar,” ujar orang itu yang ternyata Dicky.

      “Dicky? Ngapain kamu ke sini?” tanya Wenda, namun sepertinya dia tak mau mendengar jawaban dari Dicky karena setelah itu dia langsung berkata lagi, “Itu nggak terlempar, tapi sengaja aku lempar.”

           “Kenapa? Apa pensil ini mukul kamu, nusuk kamu, atau ngejek kamu?” tanya Dicky dengan sedikit bercanda. Namun, Wenda tak menjawab apa-apa. Tersenyum pun juga tidak. Dia hanya menghela napas.

            Sunyi beberapa saat.

            “Sejak kapan kamu suka menggambar?” tanya Dicky.

            “Dari mana kamu tahu aku suka nggambar?” tanya Wenda heran.

            “Nenek-nenek pikun juga tahu kalau kamu suka menggambar. Tiap hari kan kamu bawa buku gambar mulu.”

            “Oh iya.” Wenda nyengir. “Aku udah suka nggambar dari kecil,” ucap Wenda yang menjawab pertanyaan Dicky yang pertama tadi.

            “Kalau ngelukis suka juga?”

          “Suka juga. Tapi, aku lebih sering nggambar sketsa. Lagian cat lukis mahal, belum lagi kanvasnya.”

            “Mau nggak kamu ngelukis untuk aku?” tanya Dicky.

            Wenda mengernyitkan keningnya.

            “Aku nggak minta gratis kok. Dan untuk perlengkapannya, biar aku yang sediain,” ucap Dicky lagi takut Wenda salah paham.

            “Maaf, tapi aku nggak bisa,” tolak Wenda.

            “Kenapa? Padahal aku butuh banget bantuanmu.”

            “Tapi aku beneran nggak bisa.”

            “Kumohon kamu mau. Aku nggak minta kamu melukis banyak. Cuma lukis wajahku saja kok. Ya? Kumohon!”

            Menggambar wajahnya?

            “Baiklah,” jawab Wenda yang tak bisa mengelak lagi.

            “Terimakasih. Nanti sore aku ke rumahmu, oke?” ucap Dicky dengan perasaan senang.

            Tiba-tiba terdengar suara mendenging dari pengeras suara. Tak lama kemudian, seseorang menyampaikan informasi.

            “Panggilan. Panggilan ditujukan kepada Bisma Karisma siswa kelas XI IPA 1 dan Dicky Prasetyo siswa kelas X.3 agar kiranya menuju ke sumber suara. Sekali lagi…”

            “Aku pergi ya,” ucap Dicky yang kemudian pergi.

            “Kak Bisma? Dan Dicky? Ada apa?” tanya Wenda dalam benaknya.

edededede

--------------


*Bersambung*

No comments:

Post a Comment