Wednesday, June 29, 2016

[Cerbung] Marmetu Manis part 11



            Wenda melangkahkan kakinya ke anak tangga terakhir. Dia baru saja turun dari lantai atap.

            “Wenda!” teriak Riri dan Ara yang langsung merangkul Wenda.


            “Kamu tahu? Kak Bisma dan Dicky sekarang sedang persiapan masuk olimpiade,” ujar Riri memberikan informasi.

            “Aku baru tahu kalau Dicky itu pintar. Dia bahkan lagi persiapan olimpiade bareng kak Bisma, ketua OSIS kita. Tapi, kenapa dia diam banget ya kalau di kelas?” ucap Ara.

          “Dicky mungkin penerusnya kak Bisma,” ucap Riri mengandai-andai. “Tapi walaupaun Dicky sehebat kak Bisma, kamu nggak akan pindah kelain hati, kan, Wen?”

            Wenda tak menjawab. Dia memikirkan kalimat’berpindah ke lain hati’  yang Riri katakan.

            “Tentu saja enggak, Wenda itu kan orangnya setia. Jadi nggak mungkin semudah itu berpaling meninggalkan kak Bisma,” ucap Ara mencoba mewakili Wenda. Dia tahu Wenda menerima Bisma bukan karena dia mencintainya. Namun, Ara berharap Wenda bisa mencintai Bisma seperti Bisma mencintai Wenda, karena menurutnya Bisma orang yang baik dan pantas untuk Wenda.

            “Gue heran, kenapa selera Bisma rendah gitu ya?” celetuk Nindi kepada dua teman lainnya dengan nada menyindir. Kebetulan dia sudah ada disitu sejak tadi.

            “Apa kamu bilang?!” bentak Riri membela temannya.

            “Ih, berani ya bentak senior,” ujar Lutfi.

            “Emang tadi aku bilang apa ya? Tadi aku bilang apa, Guys?”

            “Bukannya tadi kamu bilang kalau Wenda nggak pantes sama Bisma?” jawab Atika.

           “Masa’ sih? Wah, aku dengarnya kamu bilang kalau Wenda itu cuma pengen ngangkat pamornya, makanya dia ngerayu Bisma. Hahaha...” Tiga cewek centil itu tertawa bersama.

          “Apa?! Ngerayu? Heh, kapan kalian lihat Wenda ngerayu kak Bisma? Walaupun kalian senior, jangan kira kita takut!” Lawan Riri. Walaupun Wenda sudah melarang Riri untuk berhenti, tapi Riri tidak mau.

           “Kamu juga. Kamu itu kan dari keluarga elit, kok mau-maunya sih berteman dengan mereka? Atau mereka yang hipnotis kamu?”

            “Apa?!” Riri hampir saja menjambak rambut Nindi, namun untungnya Wenda dan Ara langsung menariknya pergi.

            Nindi, Lutfi, dan Atika adalah geng cewek centil kepada cowok dan sinis kepada cewek yang lebih dari dia. Sebelum ada murid baru, dia selalu berusaha mendekati Bisma dan Rafael. Berharap salah satu dari mereka tertarik padanya. Tetapi, usahanya selama setahun sia-sia dengan datangnya murid baru. Dia tidak habis pikir dengan selera Bisma yang menyukai gadis miskin. Kalau Rafael, dia masih memaklumi karena Riri termasuk modis, dan keluarganya pun kaya. Tetapi, Nindi tidak suka kalau dia dikalah saingi.

            “Kenapa sih kalian cegah aku? Mereka itu nggak tahu diri, tahu!” omel Riri. Kini mereka ada di kelas.

            “Nggak usah diladenin. Semakin diladenin malah bikin masalah tambah besar,” tutur Wenda.

            “Betul kata Wenda,” timpal Ara menyetujui ucapan Wenda.

            “Emang kalian nggak sakit hati, apa digituin?”

            “Sakit hati sih iya. Tapi aku nggak mau jadi kayak mereka.”

            “Lebih baik mencintai daripada membenci.”

            “Karena membenci itu bikin muka kita jelek.”

            Riri langsung menatap Ara dan Wenda.

            “Wih, sudah lama aku nggak dengar kalimat ini.” Riri merangkul dua sahabatnya itu. Amarahnya hilang begitu saja.

            Wenda hanya tersenyum simpul. Wenda dan Ara memang lebih dekat. Mereka sudah berteman sejak SD. Sedangkan Riri, mereka baru bertemu dengan Riri saat SMP. Dulu Riri seperti Nindi. Dari atas sampai bawah semuanya adalah barang bermerek, selalu dandan saat ke sekolah, jutek, dan sombong. Oleh karena itu, tidak ada yang mau berteman dengannya.

Wenda dan Ara yang selalu merangkul siapa saja tanpa pandang bulu langsung mendekatinya, mengajaknya ngobrol. Awalnya dia memandang remeh Wenda dan Ara, tapi lama-lama dia juga berteman baik dengan mereka, karena pasti dia juga kesepian. Dari situ, sikap dan penampilannya sedikit demi sedikit berubah. Terlebih saat dia tahu sebenarnya Ara diangkat menjadi anak oleh orang tua yang kaya, namun penampilannya tetap sederhana.

~Flashback to 3 Years Ago~

            “Kenapa kalian mau berteman denganku? Padahal anak-anak lain benci banget sama aku,” tanya Riri. Sekarang Riri sudah tak lagi terganggu dengan sok akrabnya Wenda dan Ara.

            “Lebih baik mencintai daripada membenci, karena membenci bikin muka kita jelek.”

            Riri terdiam sejenak. Tapi kemudian tawanya menggelegar. “Hahaha....”

            Merkea pun tertawa bersama.

~Flashback Off~

edededede

           Sore itu, Dicky betul datang ke rumah Wenda dengan membawa perlangkapan melukis. Di depan rumah, Wenda memulai melukis wajah Dicky.

            “Kamu butuh berapa hari untuk menyelsaikannya?” tanya Dicky.

            “Satu hari,” jawab Wenda yang baru menggambar sketsa wajah Dicky terlebih dahulu.

          “Satu hari?!” pekik Dicky tidak sesuai dengan harapannya yang mengingingkan Wenda untuk berlama-lama menyelesaikannya agar dia punya alasan untuk mendekati Wenda.

            “Iya, satu hari, karena aku sudah sering menggambar wajahmu. Bahkan tidak butuh waktu lebih dari 10 menit untuk menyelesaikan sketsa ini. Aku sudah hapal kemana aku harus menggoreskan pena ini. Jadi bisa dibilang yang kamu tunggu yaitu ketika aku mewarnainya,” ucap Wenda dalam hati.

            “Tapi… Kalaupun lukisannya udah jadi, apa aku tetap boleh ke sini?” tanya Dicky dengan canggung.

            Wenda langsung berhenti menggerakkan kuasnya. Dia jadi teringat ucapan madam Ros yang mengatakan dia harus berhati-hati terhadap setiap orang  yang tiba-tiba mendekatinya.

            “Wenda?” panggil Dicky karena Wenda tak menjawab pertanyaannya. Dia malah terlihat seperti melamun.

            “Enggak!” jawab Wenda tegas, namun tidak menggunakan nada tinggi. “Aku nggak tahu kamu sudah tahu atau belum. Kalau kamu belum tahu, itu berarti aku  memberitahumu. Tapi kalau kamu sudah tahu, itu berarti aku mengingatkanmu... Aku sudah punya pacar. Aku nggak mau pacarku itu salah paham.”

            Dicky terdiam.

            “Ternyata cuma fisik, dan kepribadian Tini yang Wenda miliki. Tapi, perasaannya tidak sama.”

            “Aku tahu. Maaf, kalau aku sudah lancang,” ucap Dicky.

edededede

--------------


*Bersambung*

No comments:

Post a Comment