Tuesday, June 7, 2016

[Cerbung] Marmetu Manis part 2


Sebelumnya saya mohon maaf atas keterlambatan part 2 ini. Seharusnya dipost kemarin. Tapi, saya benar-benar lupa. Mungkin karena kemarin terlalu sibuk. Oke.. untuk menebusnya, hari ini saya mau post 2 part. *bedakan ya maksud antara part2 dan 2 part


Sedikit ulasan part sebelumnya


            Di jam istirahat, Wenda masih berpikir keras. Haruskah dia melanjutkan tekadnya yang sempat goyah tadi?

            “Wenda, Riri aku ke toilet dulu ya,” pamit Ara.

            Wenda, dan Riri hanya mengangguk tanpa menatap Ara. Wenda masih berpikir dengan tatapan lurus ke depan. Sedangkan Riri terfokus pada Rafael yang sedang bermain basket. Mereka sedang duduk di bangku yang berada di pinggir lapangan basket. Tempat Wenda¸dan Ara menemani Riri memperhatikan laki-laki tercintanya sedang berlatih. Beberapa saat setelah Ara pergi, Wenda telah menyakinkan keputusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Bisma. Dia pun berpamitan pada Riri yang masih fokus memandangi Rafael. Dia melangkah dengan cepat untuk ke kelas Bisma agar pikirannya tak goyah lagi.

            “WENDAA!!”

            Wenda mendengar Riri berteriak memanggilnya. Dia menoleh dan mendapati bola basket tengah melambung kearahnya. Wenda terkejut. Bola itu sangat dekat. Tidak ada kesempatan untuk menghindar.


            Bukkk…


Part 2 Marmetu Manis

            Wenda tak merasakan apa-apa. Dia baik-baik saja. Bola itu tak mengenainya. Saat dia membuka mata, betapa terkejutnya karena ternyata Bisma menghadang bola itu untuk melindunginya.

            “Kak Bisma!!” teriak Wenda menggoyang-goyangkan tubuh Bisma yang ambruk. Bola itu menghantam kepalanya dengan keras sehingga ia jatuh pingsan.


edededede


            Bisma telah berada di UKS. Wenda, Riri, dan Rafael menunggunya sadar.

“Kak Bisma sudah sadar,” seru Wenda terlonjak. Ia senang akhirnya Bisma sadar juga. “Kakak nggak apa-apa, kan? Ada yang sakit?”

“Bis, aku minta maaf. Aku nggak sengaja,” ucap Rafael meminta maaf. Dialah yang melempar bola yang mengenai Bisma.

“Kalian siapa?” tanya Bisma sambil melihat Rafael dan Riri.

“Kak Bisma nggak tahu mereka siapa? Jangan-jangan…” Wenda mendekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Muncul pikiran tidak enak. Dia takut Bisma amnesia gara-gara bola yang menghantam kepalanya.

“Apa kamu ingat aku?” tanya Wenda.

“Tentu saja. Kamu kan cinta,” jawab Bisma.

Wenda menatap Riri, dan Rafael dengan tatapan cemas. “Bagaimana ini? Bisma lupa ingatan.”

“Aku nggak lupa ingatan,” elak Bisma.

“Tapi kamu nggak tahu mereka. Kamu juga salah nyebut namaku,” terang Wenda.

“Ih, kamu tuh emang cinta. Cintaku seumur hidup,” kata Bisma. Beberapa saat kemudian senyum jahilnya mengembang.

“Kak Bisma bercanda ya,” kesal Wenda saat melihat wajah jahil Bisma. Dia memukul pelan lengan Bisma.


Bisma malah terkekeh. Riri, dan Rafael juga ikut tertawa. Mereka baru saja dikerjai oleh Bisma. Lega, Bisma baik-baik saja.

“Maaf deh, udah bikin khawatir. Senyum dong.” Bisma mencubit pipi Wenda agar tersenyum. Tapi Wenda masih tetap cemberut.

edededede

            Sore itu, cuaca sangat mendung. Jam masih menunjukkan pukul empat sore, tapi karena awan yang sangat tebal nan gelap menutupi matahari, sore itu seperti malam.

            Tiga vampire tengah berdiri di pinggir jalan yang sedang sepi. Dua diantaranya adalah laki-laki, dan yang satunya adalah perempuan. Mereka begitu haus, ingin sekali menghisap darah manusia.

            “Ah, aku haus banget,” keluh salah satu vampire laki-laki yang bernama Rangga.

            “Kita lakukan sekarang, kepada siapa pun,” kata vampire laki-laki yang satunya lagi seperti seorang pemimpin. Dia dipanggil Ham.


            “Tanaman marmetu manis,” gumam seseorang yang berjalan melewati mereka. Ah, bukan. Dia bukan orang. Dia juga vampire seperti mereka. Namanya Dicky. Dia terus berjalan sambil sesekali berkata “tanaman marmetu manis”.

            Mendengar tanaman itu disebut, mereka segera mengikuti Dicky dari belakang. Bagi vampire, tanaman itu lebih penting dibanding darah.

            Dicky berhenti melangkah. Dia menengadahkan kepalanya. “Dimana aku harus mencari tanaman itu?” tanyanya pada dirinya sendiri.

            “Jadi kamu belum tahu dimana tanaman itu berada?” tanya Mulda tiba-tiba.

            “Percuma kita mengikuti kamu,” gerutu Rangga.

            Ketiga vampire itu pun pergi meninggalkan Dicky karena dia juga belum tahu keberadaan tanaman marmetu manis.

Dicky hanya menatap mereka heran. Kemudian dia melanjutkan lagi langkahnya. Tiba-tiba hujan turun. Dia segera berlari, tapi…

            Brukkk….

            Tak sengaja Dicky menabrak seseorang. “Maaf,” ucapnya sambil mengambil payung milik orang itu yang terjatuh. Kemudian dia memberikan payung itu sambil sekali lagi meminta maaf.

            Dicky terdiam sejenak saat melihat gadis yang ditabraknya. Dia seperti terkejut melihat gadis itu.

            “Aku juga minta maaf karena jalan nggak lihat-lihat,” ujar gadis itu tanpa menatap Dicky. Gadis itu ternyata Wenda. Badannya sedikit basah karena payungnya terlepas tadi. Setelah mengambil payungnya yang terjatuh, ia kemudian pergi.

            Dicky yang terpaku beberapa saat, segera mengikuti gadis itu dengan diam-diam. Dicky mengikuti hingga ke rumahnya. Lagi-lagi Dicky terkejut melihat dia berbelok dan masuk ke sebuah rumah.

            “Apa itu kamu, Tini? Ah, tidak. Tidak mungkin itu kamu. Kamu pasti sudah meninggal. Tapi siapa dia? Kenapa dia begitu mirip denganmu? Dan kenapa dia tinggal di rumah lamamu?” Dicky berbicara sendiri dalam hati sambil melihat rumah itu di tengah-tengah hujan yang semakin deras.

edededede

--------------

*Bersambung*

No comments:

Post a Comment