Sebelumnya saya mohon maaf atas keterlambatan part 2 ini. Seharusnya dipost kemarin. Tapi, saya benar-benar lupa. Mungkin karena kemarin terlalu sibuk. Oke.. untuk menebusnya, hari ini saya mau post 2 part. *bedakan ya maksud antara part2 dan 2 part
Sedikit ulasan part sebelumnya
Di jam istirahat, Wenda masih
berpikir keras. Haruskah dia melanjutkan tekadnya yang sempat goyah tadi?
Wenda, dan Riri hanya
mengangguk tanpa menatap Ara. Wenda masih berpikir dengan tatapan lurus ke
depan. Sedangkan Riri terfokus pada Rafael yang sedang bermain
basket. Mereka sedang duduk di bangku yang berada di pinggir lapangan basket.
Tempat Wenda¸dan Ara menemani Riri memperhatikan laki-laki tercintanya sedang
berlatih. Beberapa saat setelah Ara pergi, Wenda telah menyakinkan keputusannya
untuk mengakhiri hubungannya dengan Bisma. Dia pun berpamitan pada Riri yang
masih fokus memandangi Rafael. Dia melangkah dengan cepat untuk ke kelas Bisma
agar pikirannya tak goyah lagi.
“WENDAA!!”
Wenda mendengar Riri berteriak
memanggilnya. Dia menoleh dan mendapati bola basket tengah melambung kearahnya.
Wenda terkejut. Bola itu sangat dekat. Tidak ada kesempatan untuk menghindar.
Bukkk…
Part
2 Marmetu Manis
Wenda tak merasakan apa-apa. Dia
baik-baik saja. Bola itu tak mengenainya. Saat dia membuka mata, betapa
terkejutnya karena ternyata Bisma menghadang bola itu untuk melindunginya.
“Kak
Bisma!!” teriak Wenda menggoyang-goyangkan tubuh Bisma yang ambruk. Bola itu
menghantam kepalanya dengan keras sehingga ia jatuh pingsan.
edededede
Bisma telah berada di UKS. Wenda, Riri,
dan Rafael menunggunya sadar.
“Kak Bisma sudah sadar,” seru Wenda terlonjak.
Ia senang akhirnya Bisma sadar juga. “Kakak nggak apa-apa, kan? Ada yang
sakit?”
“Bis, aku minta maaf. Aku nggak sengaja,” ucap
Rafael meminta maaf. Dialah yang melempar bola yang mengenai Bisma.
“Kalian siapa?” tanya Bisma sambil melihat
Rafael dan Riri.
“Kak Bisma nggak tahu mereka siapa?
Jangan-jangan…” Wenda mendekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Muncul
pikiran tidak enak. Dia takut Bisma amnesia gara-gara bola yang menghantam
kepalanya.
“Apa kamu ingat aku?” tanya Wenda.
“Tentu saja. Kamu kan cinta,” jawab Bisma.
Wenda menatap Riri, dan Rafael dengan tatapan
cemas. “Bagaimana ini? Bisma lupa ingatan.”
“Aku nggak lupa ingatan,” elak Bisma.
“Tapi kamu nggak tahu mereka. Kamu juga salah
nyebut namaku,” terang Wenda.
“Ih, kamu tuh emang cinta. Cintaku seumur
hidup,” kata Bisma. Beberapa saat kemudian senyum jahilnya mengembang.
“Kak Bisma bercanda ya,” kesal Wenda saat
melihat wajah jahil Bisma. Dia memukul pelan lengan Bisma.
Bisma malah terkekeh. Riri, dan Rafael juga
ikut tertawa. Mereka baru saja dikerjai oleh Bisma. Lega, Bisma baik-baik saja.
“Maaf deh, udah bikin khawatir. Senyum dong.”
Bisma mencubit pipi Wenda agar tersenyum. Tapi Wenda masih tetap
cemberut.
edededede
Sore itu, cuaca sangat mendung. Jam
masih menunjukkan pukul empat sore, tapi karena awan yang sangat tebal nan
gelap menutupi matahari, sore itu seperti malam.
Tiga vampire tengah berdiri di
pinggir jalan yang sedang sepi. Dua diantaranya adalah laki-laki, dan yang
satunya adalah perempuan. Mereka begitu haus, ingin sekali menghisap darah
manusia.
“Ah, aku haus banget,” keluh salah
satu vampire laki-laki yang bernama Rangga.
“Kita lakukan sekarang, kepada siapa
pun,” kata vampire laki-laki yang satunya lagi seperti seorang pemimpin. Dia dipanggil
Ham.
“Tanaman marmetu manis,” gumam
seseorang yang berjalan melewati mereka. Ah, bukan. Dia bukan orang. Dia juga
vampire seperti mereka. Namanya Dicky. Dia terus berjalan sambil sesekali
berkata “tanaman marmetu manis”.
Mendengar tanaman itu disebut,
mereka segera mengikuti Dicky dari belakang. Bagi vampire, tanaman itu lebih
penting dibanding darah.
Dicky berhenti melangkah. Dia menengadahkan
kepalanya. “Dimana aku harus mencari tanaman itu?” tanyanya pada dirinya
sendiri.
“Jadi kamu belum tahu dimana tanaman
itu berada?” tanya Mulda tiba-tiba.
“Percuma kita mengikuti kamu,”
gerutu Rangga.
Ketiga vampire itu pun pergi
meninggalkan Dicky karena dia juga belum tahu keberadaan tanaman marmetu manis.
Dicky hanya menatap mereka heran. Kemudian dia
melanjutkan lagi langkahnya. Tiba-tiba hujan turun. Dia segera berlari, tapi…
Brukkk….
Tak sengaja Dicky menabrak
seseorang. “Maaf,” ucapnya sambil mengambil payung milik orang itu yang
terjatuh. Kemudian dia memberikan payung itu sambil sekali lagi meminta maaf.
Dicky terdiam sejenak saat melihat
gadis yang ditabraknya. Dia seperti terkejut melihat gadis itu.
“Aku juga minta maaf karena jalan
nggak lihat-lihat,” ujar gadis itu tanpa menatap Dicky. Gadis itu ternyata Wenda.
Badannya sedikit basah karena payungnya terlepas tadi. Setelah mengambil
payungnya yang terjatuh, ia kemudian pergi.
Dicky yang terpaku beberapa saat,
segera mengikuti gadis itu dengan diam-diam. Dicky
mengikuti hingga ke rumahnya. Lagi-lagi Dicky
terkejut melihat dia
berbelok dan masuk ke sebuah rumah.
“Apa itu kamu, Tini? Ah, tidak.
Tidak mungkin itu kamu. Kamu pasti sudah meninggal. Tapi siapa dia? Kenapa dia
begitu mirip denganmu? Dan kenapa dia tinggal di rumah lamamu?” Dicky
berbicara sendiri dalam hati sambil melihat rumah itu di tengah-tengah hujan
yang semakin deras.
edededede
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment