“Hiks… Kak Rafa jahat. Kenapa nggak
bilang kalau kak Rafa
sakit. Hiks… Orang lain tahu, tapi aku yang pacarnya
kak Rafa malah nggak tahu. Hiks…” ujar Riri seraya
menangis.
“Maaf. Kalau kamu tahu aku sakit,
kamu pasti ke sini.”
“Memang kenapa kalau aku ke sini?
Seharusnya kak Rafa
seneng dong.”
“Aku nggak mau kamu juga ikut sakit.
Aku sakit pilek, Ri. Ini menular.”
“Tapi kita kan udah janji untuk
melawati semuanya sama-sama. Suka ataupun duka kita lewati bersama.”
“Iya. Tapi kalau kamu sakit, aku
juga akan semakin sakit.”
“Kak
Rafa pikir cuman kak
Rafa yang kayak gitu. Aku juga, kak. Sekarang aja
aku juga udah sakit.”
“Riri…” Tiba-tiba tante Vina masuk.
Segera Riri menghapus air matanya lalu berdiri.
“Eh, kamu sudah bangun, sayang,” ujar tante
Vina melihat Rafael telah bangun. “Bubur untukmu sudah mama panasin. Makan ya.
Riri, kamu juga makan. Tante udah masak buat kamu. Dari sekolah langsung ke
sini, kamu pasti belum makan siang,
kan?”
edededede
Ara mondar-mandir di depan kamar
apartemennya. Di tangannya memegang kotak yang dibungkus dengan kain dengan
gambar bunga. Ketika terdengar pintu terbuka dari kamar sebelah, dia segera
berbalik dan menghampiri orang yang keluar.
“Tunggu,” cegah Ara karena pemuda
tetangga sebelah hendak pergi. Pemuda tetangga sebelah tak tahu kalau Ara
sedang menunggunya.
“Ada apa?” tanya pemuda tetangga
sebelah.
“Tentang yang kemarin, aku mau
mengucapkan terimakasih dan maaf.”
“Maaf?” kata pemuda tetangga sebelah
dengan heran.
“Iya. Terimakasih karena telah
menemaniku semalaman. Dan maaf karena telah mengganggu waktumu.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Ara
tak mendengar apapun. Pemuda itu tak mengatakan apa-apa. Ara yang dari
berbicara tanpa menatap pemuda itu, akhirnya mengangkat wajahnya. Tak ada
ekspresi di wajah pemuda itu. Namun, walau
demikian, tetap membuat jantung Ara berdegup semakin kencang.
“Oh iya, ini.” Ara memberikan kotak
yang telah ia bungkus rapi dengan kain. “Ini kue yang aku buat sendiri sebagai
ucapan terimakasihku dan ucapan maafku.”
Pemuda itu mengambilnya dengan tak
lupa mengucapkan terimakasih. Kemudian dia pergi.
Ara tersenyum melihat pemuda itu.
Dia tak peduli dengan sikap dingin pemuda itu. Tiba-tiba sebuah nada dering
menghentakkannya.
“Iya, Wen?”
“Riri nggak jadi pergi ke festival
karena kak Rafael sakit,” kata Wenda yang ada di seberang telepon. “Kalau kamu
jadi, kan?”
“Aku juga nggak jadi deh, Wen.”
“Kenapa?”
“Entar aku ganggu kamu sama kak
Bisma, lagi.”
“Enggak lah, Ra. Pergi ya?” Wenda
berusaha mengajak Ara. Dia tidak mau hanya berdua dengan Bisma, karena itu akan
membuatnya canggung.
“Nggak, Wen. Aku juga ada urusan lain sekarang.”
“Tapi, Ra…” Wenda masih ingin
membujuk Ara agar pergi, tapi lagi-lagi Ara menolak dan langsung mematikan
ponselnya.
Ara mengerti bagaimana perasaan
Wenda terhadap Bisma. Dan dia melakukan ini agar Wenda bisa membuka perasaannya
untuk Bisma.
Ara
yang masih di depan kamar apartemennya hendak masuk ke dalam. Tapi, mendadak
ada rencana lain. Mumpung dia tidak bekerja. Dia ingin mengukuti pemuda itu
untuk mencaritahu di mana dia bekerja. Selama ini, dia tak punya kesempatan
untuk melakukan itu karena dia harus bekerja setiap hari. Di hari cutinya ini,
dia mengikuti pemuda itu.
Segera dia berlari agar tak
tertinggal jauh dari pemuda itu. Dia berhasil. Pemuda itu belum jauh
meninggalkan apartemen. Ara terus mengikuti pemuda itu secara diam-diam.
Sepertinya pemuda itu merasakan ada orang yang mengikutinya, karena sesekali
dia berbalik. Saat
pemuda itu berbalik, dengan cepat Ara bersembunyi. Entah itu di balik tembok,
pohon, atau tempat sampah besar. Namun, sekarang Ara kehilangan dia. Ara
melihat sekeliling, tapi tak ada siapapun. Kemana perginya pemuda itu? Padahal Ara hanya sebentar
tak melihatnya.
Slep…
Tiba-tiba Ara melihat sekelebat orang
berpakaian hitam lewat. Seketika, bulu kuduknya langsung berdiri. Dia mendekap
tubuhnya karena angin malam yang bertiup. Kelebatan-kelebatan bayangan itu terus
bergerak. Namun Ara tak dapat melihat sosok apa itu. Ara pun memutuskan untuk
kembali ke apartemennya.
Tap!
Tiba-tiba seseorang menarik
lengannya. Ara hampir berteriak jika orang itu tak segera mendekap mulutnya.
“Ngapain keluar malam-malam?!” tanya orang itu dengan nada
setengah membentak sambil melepas tangannya dari mulut Ara. Dia adalah pemuda
tetangga sebelah.
Ara bingung. Pertama, dia takut jika
pemuda itu mengetahui dia membuntutinya. Kedua, karena nada suara pemuda itu
membuatnya terkejut.
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment