Wenda melangkahkan kakinya ke anak
tangga terakhir. Dia baru saja turun dari lantai atap.
“Wenda!” teriak Riri dan Ara yang
langsung merangkul Wenda.
“Kamu tahu? Kak Bisma dan Dicky
sekarang sedang persiapan masuk olimpiade,” ujar Riri memberikan informasi.
“Aku baru tahu kalau Dicky itu
pintar. Dia bahkan lagi persiapan olimpiade bareng kak Bisma, ketua OSIS kita.
Tapi, kenapa dia diam banget ya kalau di kelas?” ucap Ara.
“Dicky mungkin penerusnya kak Bisma,”
ucap Riri mengandai-andai. “Tapi walaupaun Dicky sehebat kak Bisma, kamu nggak
akan pindah kelain hati, kan, Wen?”
Wenda tak menjawab. Dia memikirkan
kalimat’berpindah ke lain hati’
yang Riri katakan.
“Tentu saja enggak, Wenda itu kan
orangnya setia. Jadi nggak mungkin semudah itu berpaling meninggalkan kak
Bisma,” ucap Ara mencoba mewakili Wenda. Dia tahu Wenda menerima Bisma bukan
karena dia mencintainya. Namun, Ara berharap Wenda bisa mencintai Bisma seperti
Bisma mencintai Wenda, karena menurutnya Bisma orang yang baik dan pantas untuk
Wenda.
“Gue
heran, kenapa selera Bisma rendah gitu ya?” celetuk Nindi kepada dua teman
lainnya dengan nada menyindir. Kebetulan dia sudah ada disitu sejak tadi.
“Apa
kamu bilang?!” bentak Riri membela temannya.
“Ih,
berani ya bentak senior,” ujar Lutfi.
“Emang
tadi aku bilang apa ya? Tadi aku bilang apa, Guys?”
“Bukannya
tadi kamu bilang kalau Wenda nggak pantes sama Bisma?” jawab Atika.
“Masa’
sih? Wah, aku dengarnya kamu bilang kalau Wenda itu cuma pengen ngangkat
pamornya, makanya dia ngerayu Bisma. Hahaha...” Tiga cewek centil itu tertawa
bersama.
“Apa?!
Ngerayu? Heh, kapan kalian lihat Wenda ngerayu kak Bisma? Walaupun kalian
senior, jangan kira kita takut!” Lawan Riri. Walaupun Wenda sudah melarang Riri
untuk berhenti, tapi Riri tidak mau.
“Kamu
juga. Kamu itu kan dari keluarga elit, kok mau-maunya sih berteman dengan
mereka? Atau mereka yang hipnotis kamu?”
“Apa?!”
Riri hampir saja menjambak rambut Nindi, namun untungnya Wenda dan Ara langsung
menariknya pergi.
Nindi, Lutfi,
dan Atika adalah geng cewek centil kepada cowok dan sinis kepada cewek yang
lebih dari dia. Sebelum ada murid baru, dia selalu berusaha mendekati Bisma dan
Rafael. Berharap salah satu dari mereka tertarik padanya. Tetapi, usahanya
selama setahun sia-sia dengan datangnya murid baru. Dia tidak habis pikir
dengan selera Bisma yang menyukai gadis miskin. Kalau Rafael, dia masih
memaklumi karena Riri termasuk modis, dan keluarganya pun kaya. Tetapi, Nindi
tidak suka kalau dia dikalah saingi.
“Kenapa
sih kalian cegah aku? Mereka itu nggak tahu diri, tahu!” omel Riri. Kini mereka
ada di kelas.
“Nggak
usah diladenin. Semakin diladenin malah bikin masalah tambah besar,” tutur
Wenda.
“Betul kata
Wenda,” timpal Ara menyetujui ucapan Wenda.
“Emang
kalian nggak sakit hati, apa digituin?”
“Sakit
hati sih iya. Tapi aku nggak mau jadi kayak mereka.”
“Lebih baik
mencintai daripada membenci.”
“Karena
membenci itu bikin muka kita jelek.”
Riri
langsung menatap Ara dan Wenda.
“Wih, sudah
lama aku nggak dengar kalimat ini.” Riri merangkul dua sahabatnya itu.
Amarahnya hilang begitu saja.
Wenda
hanya tersenyum simpul. Wenda dan Ara memang lebih dekat. Mereka sudah berteman
sejak SD. Sedangkan Riri, mereka baru bertemu dengan Riri saat SMP. Dulu Riri
seperti Nindi. Dari atas sampai bawah semuanya adalah barang bermerek, selalu
dandan saat ke sekolah, jutek, dan sombong. Oleh karena itu, tidak ada yang mau
berteman dengannya.
Wenda dan Ara yang selalu
merangkul siapa saja tanpa pandang bulu langsung mendekatinya, mengajaknya
ngobrol. Awalnya dia memandang remeh Wenda dan Ara, tapi lama-lama dia juga
berteman baik dengan mereka, karena pasti dia juga kesepian. Dari situ, sikap
dan penampilannya sedikit demi sedikit berubah. Terlebih saat dia tahu
sebenarnya Ara diangkat menjadi anak oleh orang tua yang kaya, namun
penampilannya tetap sederhana.
~Flashback to 3 Years Ago~
“Kenapa kalian mau
berteman denganku? Padahal anak-anak lain benci banget sama aku,” tanya Riri.
Sekarang Riri sudah tak lagi terganggu dengan sok akrabnya Wenda dan Ara.
“Lebih
baik mencintai daripada membenci, karena membenci bikin muka kita jelek.”
Riri
terdiam sejenak. Tapi kemudian tawanya menggelegar. “Hahaha....”
Merkea
pun tertawa bersama.
~Flashback Off~
edededede
Sore
itu, Dicky betul datang ke rumah Wenda dengan membawa perlangkapan
melukis. Di depan rumah, Wenda memulai melukis wajah Dicky.
“Kamu butuh berapa hari untuk
menyelsaikannya?” tanya Dicky.
“Satu hari,” jawab Wenda yang baru
menggambar sketsa wajah Dicky terlebih dahulu.
“Satu hari?!” pekik Dicky tidak
sesuai dengan harapannya yang mengingingkan Wenda untuk berlama-lama
menyelesaikannya agar dia punya alasan untuk mendekati Wenda.
“Iya, satu hari, karena aku sudah
sering menggambar wajahmu. Bahkan tidak butuh waktu lebih dari 10 menit untuk
menyelesaikan sketsa ini. Aku sudah hapal kemana aku harus menggoreskan pena
ini. Jadi bisa dibilang yang kamu tunggu yaitu ketika aku mewarnainya,” ucap
Wenda dalam hati.
“Tapi… Kalaupun lukisannya udah
jadi, apa aku tetap boleh ke sini?” tanya Dicky dengan canggung.
Wenda langsung berhenti menggerakkan
kuasnya. Dia jadi teringat ucapan madam Ros yang mengatakan dia harus
berhati-hati terhadap setiap orang yang
tiba-tiba mendekatinya.
“Wenda?” panggil Dicky karena Wenda
tak menjawab pertanyaannya. Dia malah terlihat seperti melamun.
“Enggak!” jawab Wenda tegas, namun
tidak menggunakan nada tinggi. “Aku nggak tahu kamu sudah tahu atau belum. Kalau
kamu belum tahu, itu berarti aku memberitahumu. Tapi kalau kamu sudah tahu, itu
berarti aku mengingatkanmu... Aku sudah punya pacar. Aku nggak mau pacarku itu
salah paham.”
Dicky terdiam.
“Ternyata cuma fisik,
dan kepribadian Tini yang Wenda miliki. Tapi, perasaannya tidak sama.”
“Aku tahu. Maaf, kalau aku sudah
lancang,” ucap Dicky.
edededede
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment