Malam itu, Bisma berkunjung ke rumah
Wenda. Dia memberikan Wenda kejutan dengan memberinya sebuah hadiah. Ketika
Wenda membuka box yang Bisma berikan, dia terkejut dengan isi box itu.
“Buku gambar?” heran Wenda melihat
beberapa buku gambar di dalam box.
“Aku mau minta maaf karena udah ngilangin
buku gambar kamu tadi. Dan itu sebagai gantinya.”
Wenda tertawa geli. Kemudian dia
mengucapkan terimakasih pada Bisma.
“Selain ini, aku juga punya yang
lain yang mau aku tunjukkan,” ucap Bisma.
“Apa?”
“Ikut aku,” ajak Bisma seraya
tersenyum. Dia menarik tangan Wenda kemudian membawanya pergi dengan mobilnya.
Bisma membawa Wenda ke pameran
lukisan. Dia tahu hobby Wenda, makanya dia pergi ke Galery Lukisan.
Wenda senang melihat banyak lukisan-lukisan yang indah, terlebih dari pelukis
terkenal.
Tiba-tiba Wenda seperti melihat
Dicky. Namun, hanya dari samping, dan itu sekejab.
“Kak Bisma, aku ke toilet dulu ya,”
ucap Wenda yang sebenarnya tak ingin ke toilet melainkan ingin mencari tahu
apakah yang ia lihat benar Dicky atau bukan.
“Oh! Iya. Aku tunggu di sini.”
Wenda pergi mengikuti ke mana
perginya seseorang yang ia anggap Dicky itu. Orang itu berjalan ke luar.
Kemudian menghilang saat berbelok ke samping gedung.
“Kemana dia?” pikir Wenda melihat
sekeliling yang gelap. Kehilangan dia, Wenda memutuskan untuk kembali,
“Aaa!” pekik Wenda tertahan.
Tiba-tiba seseorang berada tepat di
hadapannya.
“Madam Ros?” tebak Wenda melihat
orang yang berdiri dihadapannya berpenampilan seperti madam Ros.
“Aku datang khusus ke sini untuk
memperingatkanmu.”
“Memperingatkan? Maksudnya?”
“Sebenarnya, aku bukan orang yang
mudah memberitahukan penglihatanku tanpa imbalan. Tapi, khusus untuk kamu, ini
berbeda. Kamu harus berhati-hati dengan orang-orang yang tiba-tiba
mendekatimu.”
“Madam, aku bukan orang yang percaya
hal-hal kayak gitu,” ucap Wenda jujur.
“Tapi, kamu harus percaya. Ini demi
keselamatanmu, dan orang-orang disekitarmu.”
Wenda hendak berbicara, namun
tiba-tiba ponselnya berdering. Tertulis nama ‘kak Bisma’ saat Wenda melihat
layar ponselnya. Dia pun segera mengangkat panggilan sambil berjalan masuk ke
gedung, meninggalkan Madam Ros.
edededede
Jam istirahat, Wenda berada di atap.
Dia menolak ajakan Riri dan Ara untuk ke kantin karena dia sudah membawa bekal.
Dengan bekal yang ia buat sendiri, Wenda duduk di gazebo atap gedung untuk menghindari
teriknya matahari. Sesekali ia menggigit roti panggangnya, kemudian melanjutkan
menggambarnya. Walaupun menggambar adalah hobinya, namun kali ini dia tak
menggambar dengan bahagia. Tentu saja, itu karena dia tidak bisa jika tidak
menggambar wajah Dicky. Wenda sudah menggambar berkali-kali, namun hasilnya
tetap sama. Saking jengkelnya, dia sampai mencoret-coret hasil gambarnya
sendiri.
“Ada apa denganku?” rutuknya sendiri
menutup buku gambar dengan kesal, kemudian melempar pensil keras-keras ke
depan. Dia meremas kepalanya karena semakin frustasi. Dia bingung dengan apa
yang terjadi padanya. Tidak mungkin dia tiba-tiba hanya bisa menggambar satu
hal.
Tak
Wenda mengangkat sedikit kepalanya
saat mendengar suara. Dia melihat seseorang menaruh pensil yang telah ia buang
tadi di depannya.
“Aku lihat pensil ini terlempar,”
ujar orang itu yang ternyata Dicky.
“Dicky? Ngapain kamu ke sini?” tanya
Wenda, namun sepertinya dia tak mau mendengar jawaban dari Dicky karena setelah
itu dia langsung berkata lagi, “Itu nggak terlempar,
tapi sengaja aku lempar.”
“Kenapa? Apa pensil ini mukul kamu,
nusuk kamu, atau ngejek kamu?” tanya Dicky dengan sedikit bercanda. Namun,
Wenda tak menjawab apa-apa. Tersenyum pun juga tidak. Dia hanya
menghela napas.
Sunyi beberapa saat.
“Sejak kapan kamu suka menggambar?”
tanya Dicky.
“Dari mana kamu tahu aku suka
nggambar?” tanya Wenda heran.
“Nenek-nenek pikun juga tahu kalau
kamu suka menggambar. Tiap hari kan kamu bawa buku gambar mulu.”
“Oh iya.” Wenda nyengir. “Aku udah
suka nggambar dari kecil,” ucap Wenda yang menjawab pertanyaan Dicky yang
pertama tadi.
“Kalau ngelukis suka juga?”
“Suka juga. Tapi, aku lebih sering
nggambar sketsa. Lagian cat lukis mahal, belum lagi kanvasnya.”
“Mau nggak kamu ngelukis untuk aku?”
tanya Dicky.
Wenda mengernyitkan keningnya.
“Aku nggak minta gratis kok. Dan
untuk perlengkapannya, biar aku yang sediain,” ucap Dicky lagi takut Wenda
salah paham.
“Maaf, tapi aku nggak bisa,” tolak
Wenda.
“Kenapa? Padahal aku butuh banget
bantuanmu.”
“Tapi aku beneran nggak bisa.”
“Kumohon kamu mau. Aku nggak minta
kamu melukis banyak. Cuma lukis wajahku saja kok. Ya? Kumohon!”
Menggambar wajahnya?
“Baiklah,” jawab Wenda
yang tak bisa mengelak lagi.
“Terimakasih. Nanti sore aku ke
rumahmu, oke?” ucap Dicky dengan perasaan senang.
Tiba-tiba terdengar suara mendenging
dari pengeras suara. Tak lama kemudian, seseorang menyampaikan informasi.
“Panggilan. Panggilan ditujukan
kepada Bisma Karisma siswa kelas XI IPA 1 dan Dicky Prasetyo siswa kelas X.3
agar kiranya menuju ke sumber suara. Sekali lagi…”
“Aku pergi ya,” ucap Dicky yang
kemudian pergi.
“Kak Bisma? Dan Dicky? Ada apa?”
tanya Wenda dalam benaknya.
edededede
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment