Cuplikan Part Sebelumnya
Wendak tersentak. Dia terbangun dari
tidurnya saat petir menyambar sesuatu di luar sana. Tenggorokkannya mendadak
kering, dia lalu keluar dari kamar untuk minum. Saat dia berjalan ke dapur, dia
melihat salah satu jendela terbuka dan tertutup ditiup angin. Pasti mamanya
lupa mengunci jendela itu, pikir Wenda. Kemudian dia menutup jendela itu, dan
pergi ke dapur mengambil air.
Wenda menuangkan air ke gelasnya,
dan tepat saat itu lampu padam. Dia pun mencari lilin di rak. Tangannya
meraba-raba rak itu, dan….
“Aw!” jerit Wenda tertahan. Jari
telunjuknya berdarah karena tak sengaja menyentuh ujung pisau yang tajam. Tidak
biasanya mamanya menaruh pisau di situ.
Setelah menyelakan lilin, Wenda
mengobati lukanya. Kemudian dia kembali mengambil air. Saat dia menenggak segelas air, tiba-tiba dia
melihat bayangan selain dirinya. Bayangan itu seperti bayangan laki-laki. Dia
menaruh gelasnya di atas meja dengan berusaha bersikap biasa walau kini dia
sedang takut.
Part 4
“Siapa itu? Jangan-jangan jendela
yang terbuka tadi, orang itu yang melakukannya. Apa dia maling?” pikirnya
resah.
Apa yang harus dilakukannya. Bayangan
itu semakin mendekat. Saat dia melihat tempat sendok dan garpu yang ada di
depannya, takutnya berkurang walau hanya
0,001%. Dengan memberikan diri, dia menghitung mundur di dalam hati, lalu
segera menengok ke belakang sambil meraih garpu dan menodongkannya dengan
cepat. Namun, saat dia berpalik, tak ada siapa-siapa di sana.
DYAARRR….
Petir kembali menyambar. Wenda
berteriak sambil tunduk.
“Wenda!” panggil mamanya dari dalam
kamar.
Menyadari itu hanya petir yang menyambar
sesuatu di luar, bukan di sekitarnya apalagi
dirinya, Wenda berdiri.
“Ada apa, Nak?” tanya nyonya Lisa
menghampiri anaknya.
“Enggak ada apa-apa, Ma. Wenda cuman
kaget,” jawab Wenda.
“O. Tapi kamu kenapa di sini?”
“Tadi Wenda habis minum.”
“Ya sudah, kembali ke kamar gih.”
Mereka pun kembali ke kamar masing-masing. Saat Wenda sudah
merebahkan tubuhnya kembali, dia masih memikirkan bayangan tadi. Dia masih
curiga. Tapi, kemudian dia tertidur pulas.
Diam-diam Dicky memperhatikan Wenda
yang telah tidur.
~Flashback to a few minuts before Wenda wake up~
Dicky masuk ke dalam rumah Wenda
melalui jendela di dekat dapur, karena hanya itu satu-satunya yang tidak
terkunci. Saat dia hendak menutup jendela, tiba-tiba Wenda keluar dari kamar.
Dengan kecepatannya, Dicky dapat bersembunyi sebelum Wenda melihatnya.
Dicky memperhatikan Wenda yang
mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya. Dia menyelinap ke dalam untuk
memperhatikan wajah Wenda. Dia berusaha menyakinkan dirinya bahwa dia bukanlah
gadis yang dia kenal seratus tahun yang lalu. Namun, semakin dia memperhatikan
gadis itu, semakin miriplah dia dengan seseorang
yang pernah dekat dengannya dulu.
Seperti pada gadis 100 tahun yang
lalu, pada Wenda juga muncul rasa care. Saat Wenda menjerit karena
tangannya terkena pisau, hampir saja Dicky keluar dari persembunyiannya.
Walaupun dia bisa mengontrol
dirinya, melihat Wenda semakin lama, membuat dia berjalan mendekatinya secara
tak sadar. Saat Wenda berbalik dengan gerakan cepatnya itu, Dicky jauh lebih
cepat. Dicky menyadari Wenda hendak berbalik, makanya dia segera berpindah
tempat di kegelapan.
Saat petir menyambar, Wenda
berteriak. Dicky ingin menghampirinya lagi,
namun dia menahan diri.
~Back
to present~
Lekat.
Dicky menatap wajah Wenda.
“Apakah
kamu bereinkarnasi, Tini?” gumam Dicky.
edededede
“Kenapa kita harus beda sekolah?”
tanya Mulda pada kedua temannya di ruang isolasi. Mereka mengenakan
seragam sekolah SMA yang berbeda-beda.
“Kota ini
luas. Kita harus berpencar supaya lebih mudah menemukan manusia special,” jawab
Ilham.
“Kalian yang hidup lebih lama dariku, apa
kalian nggak tahu bagaimana rupa manusia special itu, atau paling enggak
ciri-ciri khusus?” tanya Ilham.
“Enggak ada yang tahu,” jawab Rangga. “Aku
yang udah di sini seratus tahun lebih saja nggak tahu vampire mana yang
beruntung mendapatkan marmetu manis. Aku cuman bisa nyium bau marmetu manis yang sampai sekarang
masih aku ingat aromanya.”
“Yap, paling-paling yang tahu hanya vampire
yang pernah mendapatkan maremetu manis,” tambah Mulda.
Inilah awal dari ketiga vampire itu mencari
marmetu manis yang hanya muncul seratus tahun sekali, dan akan muncul di kota yang sama selama tiga kali
berturut-turut.
edededede
Kringg….
Beberapa saat setelah bel berbunyi, seorang
guru masuk ke kelas X.3 dimana Wenda, Riri, dan Ara berada.
“Murid-murid, hari ini kalian punya
teman baru,” ujar Bu’ Rahma, wali kelas X.3. Kemudian Bu’ Rahma mempersilahkan
murid baru itu untuk masuk.
Semua murid melihat kearah pintu.
Mereka penasaran dengan murid baru itu. Namun, Ara nampaknya tak peduli dengan
itu. Sejak tadi dia melamun. Ya, dia melamun. Dia bahkan tak memperhatikan
murid baru itu yang sudah masuk dan memperkenalkan diri.
~Flashback
to last night~
Pemuda itu mengantarkan Ara kembali
ke kamarnya. Kamar Ara berada sebelum kamar pemuda itu.
Ara menahan lengan pemuda itu saat
ia hendak ke kamarnya.
“Tolong, jangan tinggalkan aku
sendiri,” pinta Ara dengan suara bergetar.
Pemuda itu melihat Ara yang tertunduk.
Karena merasa kasihan, dia menemani Ara di kamar Ara. Dia menyuruh Ara untuk
tidur dan dia yang akan menjaganya. Ara mengangguk. Dia lalu tidur. Namun, saat
petir itu kembali terdengar, Ara terlonjak. Matanya semakin memejam erat, dan
tangannya mengepal sambil menutup telinganya.
Pemuda itu meraih tangan Ara dan
menggenggamnya. Walaupun Ara masih takut saat petir terdengar, tapi setidaknya
dia tak begitu takut lagi karena dia meresakan ada orang yang menjaganya.
~Back
to present~
“Kamu duduk di belakang sana saja ya,” tunjuk
Bu’ Rahma ke bangku kosong di samping Ara.
Murid baru itu kemudian duduk di
samping Ara. Ara masih melamun tak menyadari kalau ada seseorang yang duduk di
sampingnya. Makanya dia terpekik saat menoleh ke samping.
“Ada apa, Ara? Murid baru itu tidak
mengganggumu, kan?” tanya Bu’ Rahma yang telah memulai pelajaran.
“Mu..Murid baru?!” pekik Ara dalam hati.
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment