Author : Maaf, maaf, maaf.. lewat berhari-hari ya. Kali ini buka karena lupa, tapi karna kuota yang tidak ada. Baru sempat isi hari ini. Baiklah seperti minggu lalu, kalau terlambat aku akan post 2 part.
CUPLIKAN PART SEBELUMNYA
“Kamu duduk di belakang sana saja ya,” tunjuk
Bu’ Rahma ke bangku kosong di samping Ara.
Murid baru itu kemudian duduk di
samping Ara. Ara masih melamun tak menyadari kalau ada seseorang yang duduk di
sampingnya. Makanya dia terpekik saat menoleh ke samping.
“Ada apa, Ara? Murid baru itu tidak
mengganggumu, kan?” tanya Bu’ Rahma yang telah memulai pelajaran.
“Mu..Murid baru?!” pekik Ara dalam hati.
Part
5 Marmetu Manis
“Ti…tidak, bu’,” jawab Ara kemudian.
“Lalu kenapa kamu berteriak?” tanya
Bu’ Rahma lagi.
“Emm… tadi…” Ara berpikir. Dia tidak
mungkin mengatakan kalau dia terkejut karena tiba-tiba ada seseorang di
sampingnya. Dia akan dikira melamun nanti. Walau sebenernya itu benar.
“Cicak. Ya, tadi cicak tiba-tiba
keluar dari laciku,” jawabnya bohong setelah melihat cicak di dinding.
“Sama cicak saja kok takut.
Sekarang kembali perhatikan ibu.”
“Baik, Bu’.”
Ara tak lantas memperhatikan Bu' Rahma, dia malah memperhatikan orang di
sampingnya tanpa berkedip. Wajahnya mirip dengan pemuda di kamar sebelah.
“Kenapa?” tanya Ham seraya menoleh.
Dia risih jika
terus dilihati seperti itu.
Ara tersentak. Matanya mengerjap dua kali. “Nama kamu siapa?”
tanya Ara kemudian.
“Kamu nggak dengar aku
memperkenalkan diri tadi?”
Ara tersenyum malu sambil meminta
maaf.
“Panggil aja aku Ham,” kata pemuda
menyebutkan nama panggilannya.
“Oh… Ham.” Ara mengangguk. Kemudian
dia tak memandangi wajah pemuda itu lagi.
“Mereka berbeda. Tapi, kenapa
wajahnya mirip?” pikir Ara. Walaupun dia tidak tahu siapa nama pemuda kamar
sebelah, tapi wajah mereka tidak mirip 100%. Yaah, walaupun mereka hampir mirip 100%. Tatapan matanya berbeda dengan tatapan mata pemuda kamar
sebelah. Pemuda kamar sebelah memiliki tatapan yang lembut, makanya Ara sering
luluh hanya melihat tatapan matanya. Sedangkan pemuda di sampingnya ini,
tatapannya sangat dingin. Bahkan Ara bisa merasakannya hingga ke jantungnya
yang langsung membeku saat melihat tatapan matanya.
edededede
Jam istirahat, seperti biasa Wenda,
Ara, dan Riri pergi ke tempat basket yang dihari itu anggota basket sedang
latihan. Tetapi, Rafael tak terlihat ada di sana. Kemudian Riri menghampiri
salah satu anggota basket. Dia bertanya kemana Rafael. Dengan sikap yang aneh,
anggota basket itu menjawab bahwa Rafael sedang dipanggil ke ruang guru.
Kemudian, dia buru-buru melanjutkan latihannya.
“Ya, udah lah. Kita ke kantin aja
yuk,” ajak Wenda.
Mereka pun pergi ke kantin. Pangsit yang
merupakan makanan favorit mereka telah berada di depan mereka setelah beberapa
saat menunggu. Wenda pun melahap makanan yang terlihat yammi itu. Namun,
Riri dan Ara terlihat tak nafsu makan. Mereka bahkan hanya mengaduk-aduk mie-nya.
“Teman-teman, aku pergi ke kelas kak Rafa dulu
ya,” pamit Riri.
“Ngapain? Bukannya tadi teman basketnya bilang
kalau dia ke ruang guru?” tanya Wenda.
“Iya, tapi nggak tahu kenapa aku khawatir. Aku
mau ngecek dulu ke kelasnya.” Riri pun pergi dari kantin. Dia merasakan
kejanggalan saat Dodo-orang yang dia tanyai tadi menjawab. Agak mencurigakan
menurutnya.
“Ra, kamu kenapa?” tanya Wenda saat melihat
Ara hanya mengaduk-aduk mie-nya.
“Hah?” Ara terlonjak. Kemudian dia menghela
nafas berat.
“Wen, aku ngerasa Ham, si murid baru itu
wajahnya mirip sama yang tinggal di kamar sebelahku,” ujar Ara kemudian.
“Yang selalu keluar setiap malam itu?” tanya
Wenda memastikan.
“He-eh,” angguk Ara.
“Bicarakan tentang kamar sebelah, tadi malam
aku ngerasa aku telah ngelakuin hal yang memalukan,” ujar Ara dengan lesu.
“Hal yang memalukan gimana?” tanya Wenda.
Kemudian Ara menceritakan kejadian semalam
dengan rinci.
edededede
Saat Riri telah tiba di kelas
Rafael, segera ia bertanya pada teman-teman Rafael yang kebetulan duduk di
depan kelas. Yaah, walaupun dia malu karena dia masih junior, tapi dia
mengkhawatirkan Rafael.
“Kak, maaf. Boleh aku bertanya?”
Riri meminta izin sebelum bertanya.
“Tanya apa?” tanya salah satu senior
perempuan tanpa menoleh karena sibuk memainkan gadget-nya itu.
“Kak Rafael di mana ya?”
Entah apa yang salah dengan
pertanyaan Riri, semua teman kelas Rafael yang duduk di bangku itu menoleh
dengan tatapan terkejut, dan tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaannya. Setelah Riri mengulangi pertanyaannya, barulah ada yang
merespon.
“Kamu nyari Rafael?” tanya seseorang
dari belakang.
“Iya, kak. Dimana ya dia sekarang?” tanya
Riri setelah menoleh.
Senior yang bernama Ninda tersenyum
sinis. “Ck, kasihan ya,” katanya sambil menggeleng.
“Maksudnya?” tanya Riri yang tak
tahu maksud ucapan Ninda.
“Kamu kasihan. Semua teman Rafael
tahu kalau dia sekarang sakit. Tapi, kamu yang pacarnya malah nggak tahu,”
terang Ninda dengan membubuhi senyum sinisnya.
“Apa?! Kak Rafa sakit?” pekik Riri.
edededede
Sepulang sekolah, Riri langsung ke
rumah Rafael. Dia ingin mengetahui apakah Rafael benar-benar sakit.
Ting…Tong….
Riri memencet tombol rumah Rafael.
Tak lama kemudian pintu terbuka.
“Kak Rafa ada, tante?” tanya Riri
pada seseorang yang menurutnya ibu Rafael.
“Ada, nak. Kamu ini…orang yang di
foto itu, kan,
pacarnya Rafael?” tanya tante Vina memastikan. Dia pernah melihat foto Riri
terpajang di kamar Rafael. Tampak wajah bahagia melihat Riri. “Ayo, masuk. Dia
lagi istirahat.” Tante Vina mengantarkan Riri ke kamar Rafael.
Benar. Rafael sedang tidur dengan
wajah yang pucat karena sakit.
“Aku tinggal dulu, ya.” Tante Vina
memberikan mereka privasi.
“Iya, tante. Terimakasih.”
Setelah tante Vina pergi, Riri
mendekat ke ranjang Rafael. Dia menatap Rafael dalam. Tak lama kemudian, Rafael
bangun dan mendapati Riri telah ada di depannya.
“Riri?!” Rafael terkejut.
Tes. Air mata Riri yang ia tahan
sejak tadi akhirnya terjatuh. Kemudian dia duduk di pinggir ranjang Rafael dan
memukul pundak pemuda itu dengan
pelan.
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment