Pukul 18.00
Ara dengan masih mengenakan seragam
sekolahnya menaiki tangga apartemen. Di tangan kanannya menenteng payung
berwarna ungu yang basah.
Setiap pulang sekolah, dia tak langsung pulang
melainkan bekerja paruh waktu terlebih dahulu. Dia sudah melakukan ini hampir
dua tahun setelah orang tua angkatnya menyuruhnya tinggal di luar rumah.
Sebenarnya, orang tua angkat Ara menyuruhnya tinggal di apartemen yang lebih
besar, namun Ara menolak. Uang yang diberikan oleh orang tua angkatnya tak
pernah ia sentuh sedikitpun. Padahal uang itu cukup banyak. Jika dia mau, dia
bisa mengambilnya untuk kebutuhan sehari-hari, dan itu masih ada lebihnya. Ya,
orang tua angkat Ara sangat kaya. Mereka mengadopsi Ara karena mereka tidak
memiliki anak. Namun, setelah mereka memiliki anak kandung, Ara disuruh tinggal
di tempat lain. Untungnya mereka masih mempunyai kebaikan. Mereka tetap
memfasilitasi Ara. Tetapi Ara terlanjur sakit hati. Tega sekali mereka
membuangnya setelah mendapatkan yang baru, yang mereka inginkan.
Beberapa anak tangga lagi, Ara akan
sampai di kamar apartemennya.
“Apa dia pergi dihujan seperti
ini?” pikir Ara sambil berjalan.
Beberapa detik kemudian, seorang
pemuda berjalan menuruni tangga. Dia orang yang sedang dipikirkan Ara. Kamar pemuda
itu tepat di samping kamarnya. Entah sejak kapan Ara menjadi pengagum rahasia
pemuda itu. Mereka sering berpapasan di tangga itu di jam yang sama. Walaupun
mereka tetangga, dan walaupun mereka sering berpapasan, Ara tak tahu nama
pemuda itu.
edededede
Sebuah ruangan yang sangat gelap dan
terisolasi karena tak ada celah atau jendela satupun. Lampu yang berpijar pun hanya satu dan remang-remang,
tak cukup untuk menerangi seluruh ruangan. Di sana ketiga vampire sedang
berunding.
“Kamu yakin kita harus beli penawar
itu?” tanya Rangga pada Ham.
“Tentu saja. Tanaman marmetu manis
hanya ditemukan di siang hari. Kalau kita hanya bisa keluar malam hari dan saat
mendung, kita tidak akan mendapatkannya. Kalian sendiri yang mengatakan kalau
tahun ini tanaman marmetu manis akan muncul,” jawab Ham panjang lebar.
“Memang, tanaman itu akan muncul
tahun ini. Tapi, untuk mendapatkan tanaman itu, kita membutuhkan darah yang
banyak. Satu drum penuh darah manusia untuk tiga penawar,” sahut Mulda.
“Aku tahu itu. Dan sekarang kita tinggal menambahkan
sedikit darah.”
“Maksudmu?” tanya Mulda dan Rangga.
Selama ini, selain meminum darah untuk
dirinya sendiri, Ham juga menyimpannya. Dia telah berpikir jauh-jauh hari untuk
membeli penawar itu, penawar yang jika vampire meminumnya, dia akan kebal dari sinar matahari. Tapi penawar
itu hanya mampu bertahan selama tiga bulan.
edededede
Pemuda itu berjalan melewati Ara
tanpa melihatnya. Dia adalah pemuda yang sedang dipikirkannya.
Ara yang langsung menghentikan
langkahnya saat melihat pemuda itu, melirik ke arah pemuda itu. Ya, melirik
agar pemuda itu tak merasa aneh. Setelah pemuda itu melewatinya, Ara tersenyum
tipis. Baginya, dia sudah cukup bahagia walau hanya melihatnya.
Ara kembali melanjutkan langkahnya.
Tapi dia tiba-tiba berhenti. Saat dia melihat pemuda tadi, dia tak membawa
payung atau jas hujan. Padahal sekarang hujan.
Segera Ara berlari menuruni tangga,
mengejar pemuda tadi.
Ara memperlambat langkahnya saat
melihat pemuda itu sedang berdiri menatap lebatnya hujan.
Satu langkah jarak antara Ara dan pemuda itu. Tiba-tiba
dia menghentikan langkahnya.
“Kenapa aku harus ngejar dia?
Kalau dia tahu hujan, dia pasti nggak jadi pergi,” ucap Ara di dalam hati.
Ara hendak pergi, kembali ke rumahnya, namun
pemuda itu tiba-tiba berbalik sebelum Ara beranjak dari tempatnya. Hampir saja
Ara terjatuh karena pemuda itu menabraknya, namun dia dengan sigap menahan
tubuh Ara agar tak jatuh ke belakang. Tangan kanannya memegang tangan kiri Ara,
sedangkan tangan satunya menahan punggung Ara. Beberapa detik mereka dalam
posisi seperti itu.
DYAARRRR….
Pemuda itu sedikit terkejut dengan tindakan
Ara. Dia hendak melepaskan pelukan Ara, tapi dia merasakan tubuh gadis itu
bergetar. Mungkin Ara takut dengan suara petir.
edededede
Rafael segera menghentikan motornya
di depan sebuah toko yang tertutup. Rafael yang kebetulan bersama Riri segera
turun dari motor untuk berteduh. Mereka basah kuyup. Hujan semakin deras.
Jalanan yang tertutup hujan itu tak nampak kendaraan yang melintas. Toko-toko
di sekitar juga tertutup semua.
Mereka duduk dibangku. Riri tampak
kedinginan. Walaupun telah mengenakan pakaian yang panjang, namun pakaian itu
tidak tebal. Terlebih dia kehujanan tadi.
“Pakai jaketku aja.” Rafael
mengenakan jaketnya pada Riri.
“Kamu gimana?” tanya Riri melihat
Rafael sekarang hanya mengenakan kaos pendek.
“Aku tahan dingin. Jangan khawatir,”
jawabnya seraya tersenyum.
Tiba-tiba suara petir terdengar
sangat keras bersamaan dengan kilat. Seketika Riri berteriak sambil memeluk
lengan Rafael.
“Kak..” lirihnya sedikit takut.
“Udah, tenang. Nggak apa-apa.
Petirnya nggak nyambar ke sini kok,” ucap Rafael menenangkan Riri. Dia mendekap
Riri agar lebih tenang.
Tak hanya sekali petir itu
menyambar. Riri yang tadinya berniat menghubungi ayahnya untuk menjemputnya
karena kelihatannya hujan tak akan berhenti segera jadi urung. Dia takut jika
dia menelpon, petir itu akan menyambarnya.
edededede
Wendak tersentak. Dia terbangun dari
tidurnya saat petir menyambar sesuatu di luar sana. Tenggorokkannya mendadak
kering, dia lalu keluar dari kamar untuk minum. Saat dia berjalan ke dapur, dia
melihat salah satu jendela terbuka dan tertutup ditiup angin. Pasti mamanya
lupa mengunci jendela itu, pikir Wenda. Kemudian dia menutup jendela itu, dan
pergi ke dapur mengambil air.
Wenda menuangkan air ke gelasnya,
dan tepat saat itu lampu padam. Dia pun mencari lilin di rak. Tangannya
meraba-raba rak itu, dan….
“Aw!” jerit Wenda tertahan. Jari
telunjuknya berdarah karena tak sengaja menyentuh ujung pisau yang tajam. Tidak
biasanya mamanya menaruh pisau di situ.
Setelah menyelakan lilin, Wenda
mengobati lukanya. Kemudian dia kembali mengambil air. Saat dia menenggak segelas air, tiba-tiba dia
melihat bayangan selain dirinya. Bayangan itu seperti bayangan laki-laki. Dia
menaruh gelasnya di atas meja dengan berusaha bersikap biasa walau kini dia
sedang takut.
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment