Di gedung paling atas, yang biasa di
sebut atap gedung, Wenda duduk di pinggir banggunan. Dia memperhatikan kembali
gambaran yang ia gambar. Siapa tahu dia pernah melihat orang itu jauh sebelumnya, tapi dia
lupa. Lama Wenda mengamati gambar itu. Jika cuaca tidak mendung, mungkin dia
sudah menjadi ikan kering asin di sana.
“Wenda, apa yang kamu lakuin
sendirian di sini?” tanya seseorang yang tiba-tiba datang membuat Wenda
tersentak, dan tak sengaja melempar buku gambarnya sehingga terjatuh ke bawah
gedung.
“Buku gambarku!” teriak Wenda sambil
melihat ke bawah.
“Maaf. Aku pasti ngagetin kamu. Biar
aku ambil.” Segera Bisma berlari masuk dan menuruni tangga.
“Nggak usah, kak,” cegah Wenda,
namun Bisma sudah terlanjur menuruni tangga. Oleh karena itu, Wenda berlari
mengejar Bisma. Dia tidak mau kalau Bisma mengetahui apa yang digambarnya akhir-akhir ini.
Setelah Bisma tiba di bawah, dia tak
menemukan buku gambar Wenda, padahal dia yakin jatuhnya tepat di sana. Dia pun
bertanya pada murid-murid yang ada di sekitar situ. Beberapa tidak mengetahui
ada buku gambar yang jatuh, namun ada juga yang melihat.
“Iya, aku lihat tadi ada buku gambar
yang jatuh dari atas. Terus ada yang ambil bukunya,” kata salah satu murid.
“Siapa?” tanya Bisma.
“Aku nggak tahu namanya. Aku juga nggak pernah lihat dia.”
“Jangan-jangan murid baru itu,”
pikir Wenda dalam hati yang
kebetulan baru datang, dan mendengar hal tersebut. Yang awalnya Wenda takut
kalau Bisma melihat isi buku gambar, sekarang dia takut kalau buku gambarnya
ditemukan oleh Dicky.
“Kak Bisma, udahlah. Nggak apa-apa
kok. Lagian itu nggak penting. Aku kan masih bisa beli yang baru,” ujar Wenda
supaya Bisma tak mencari buku gambarnya lagi.
“Beneran? Tapi aku lihat kamu sering
bawa buku itu. Masa’ sih nggak penting?”
“Iya, kak, nggak penting. Udah yuk,
kita pergi aja, kak.”
Sementara itu, masih di sekolah yang
sama namun di tempat yang berbeda, seorang murid laki-laki berjalan sambil
membuka-buka buku gambar milik Wenda. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena
seseorang menghalangi jalannya.
“Apa yang kamu lihat?” tanya Ham
kemudian merebut buku gambar itu dari tangan Dicky.
“Jangan!” sergah Dicky berusaha
merebut kembali buku gambar itu, namun Ham beringsut menghindar.
Setelah membuka-buka buku gambar
itu, dia tertawa geli. “Narsis banget, gambarnya cuma wajahmu doang,” kata Ham
sambil mengembalikan buku gambar itu.
“Aku peringatkan, ya,” ujar Ham serius. “Aku tahu
tujuanmu ke sini. Tapi, lebih baik kamu nyerah aja, karna aku yang bakal dapat
tanaman itu.”
Dicky tersenyum menyindir. “Yakin? Emang kamu
udah temukan manusia special?”
“Segera!” jawab Ham penuh penekanan.
“Ya udah, kita lihat aja siapa yang berhasil,”
ujar Dicky dengan percaya diri. Kemudian dia pergi meninggalkan Ham.
Ham kesal karena merasa diejek.
edededede
Pulang sekolah Rafael langsung
menjenguk Riri di rumahnya.
“Kan aku bilang apa. Seharusnya kamu
nggak usah jenguk aku waktu itu. Sekarang kamu yang sakit,” omel Rafael.
“Cuma sakit gini aja kok. Ntar juga
sembuh.”
“Riri,” panggil Wenda seraya masuk
ke kamar Riri. “Oops, sorry, aku nggak tahu kalau kak Rafael ada di
sini,” lanjut Wenda yang hendak pergi lagi. Dia merasa telah mengganggu pasangan
yang sedang berduaan.
“Nggak apa-apa, Wen,” cegah Rafael.
“Masuk aja. Kamu kan temennya Riri. Eh, tapi mana yang satunya? Kok Sendiri?”
“Oh, Ara? Dia langsung ke Coffee
Café untuk membayar kerjaannya kamarin yang ia tinggalkan. Oh iya, Ri. Dia
minta maaf sama kamu karena nggak bisa jenguk kamu.”
“Iya, nggak apa-apa. Tapi kenapa dia
sampai nggak kerja kemarin? Nggak biasanya.”
“Ntar lah aku ceritain.”
edededede
19.00 WIB
Ara yang biasanya sudah ada di
rumah, sekarang masih di tempat kerja. Dia harus lembur hari ini untuk membalas
cutinya kemarin. Sebenarnya tak ada peraturan seperti itu di Coffe Café,
Ara sendiri yang membuatnya seperti itu. Dia merasa bersalah. Lagi pula, besok tidak ada tugas apapun.
“Selamat datang!” sapa Ara saat
seorang pelanggan masuk ke Café.
“Cahyaning
Rahayu,” ucap pelanggan itu membaca tag nama di baju Ara. “Nama yang bagus,”
pujinya.
“Kamu?!”
pekik Ara melihat pelanggan itu ternyata pemuda kamar sebelah.
“Selama ini
kita belum berkenalan. Aku Reza Anugrah,” ucap pemuda itu sambil mengulurkan
tangannya. “Panggil aja aku Reza.”
Dengan
senang hati, Ara menyambut uluran tangan Reza. “Kamu bisa panggil aku Ara.”
“Ara? Aku
lebih suka Cahya. Boleh aku panggil Cahya?” tanya Reza meminta izin.
“Boleh
saja. Itu kan juga namaku. Oh iya, aku pake ini.” Ara
menunjukkan sedikit bawang putih yang ia kalungkan.
Reza
tersenyum melihatnya.
edededede
--------------
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment